Peradaban malam menuju pagi. Lalu lintas sudah mulai beristirahat dari kepadatannya. Jalanan sudah mulai sepi. Hanya lampu-lampu jalanan yang masih setia menemani aspal-aspal yang hitam memudar. Aku berdiri kaku berteman angin malam yang membawa daun-daun jatuh dari naungan kekokohan sang pohon. Senyumku; kecut.
“Melia, siapkan berkas-berkas terbaru, lalu hubungi pihak marketing dan sampaikan agar mempercepat follow up semua permintaan konsumen dalam waktu dua hari ini. Besok dan lusa saya minta kamu tetap di kantor,
“Generasi bangsa ini sudah rusak! Mengakar sampai ujung akarnya, tidak akan pernah bisa dirubah kecuali semuanya mati, luluh lantak tak tersisa dan barulah lahir bibit-bibit baru yang segar!”
air mata seorang perempuan terlalu mahal walau setetes karena hati perempuan seperti gelas kristal ketika pecah, walaupun kau telah berusaha merekatkannya kembali namun retakannya takkan pernah terhapus jaga perempuanmu seperti kau menjaga ibumu!
“Samid” jawabku pasti pada sahabatku Anan. “Samid?” nada pertanyaan itu menyiratkan ketidakpercayaan dan terkejut luar biasa. Pandangan matanya berbinar, sudut bibirnya tertarik sampai ke ujung seperti menyimpan rencana picik padaku.
Pada suatu ketika Tuhan menciptakan keindahan Keindahan pelengkap dunia Penghilang haus dan dahaga jiwa Keindahan yang paling megah Melebihi kilau berlian Dialah seorang "perempuan"
“Lebih baik kau ubah kelakuanmu itu, sebelum Tuhan mengutukmu dan tidak pernah memberikan tempat setelah kematianmu nanti” Aku berteriak sejadi-jadinya sambil menyeret kaki sialku menuju dapur. “Jangan pernah bawa-bawa Tuhan di hadapanku,
Rasa kantuk menghinggapi kedua kelopak mataku, membuatku setengah diambang kesadaran. Kereta api yang aku tumpangi masih konstan melaju diatas rel yang terbentang jauh. Sementara pemandangan gersang antara Bogor – Jakarta
Ada banyak tipikal manusia di dunia ini, dan saya termasuk tipikal orang yang 'moody', sibuk dengan kesusahan dan sibuk dengan keluhan. Saat-saat paling mengerikan adalah
"Profesi atau Eksploitasi?" itu pertanyaan yang ada di otak saya ketika saya melihat pertunjukan topeng monyet di trotoar lampu merah. Begitu polosnya binatang itu menari, berlenggak-lenggok, bergerak aktif berharap dapat menarik perhatian para pengendara lalu menunggu lemparan uang recehan atau seribuan. Panas hari, debu bertebaran, asap kendaraan tak permisi menyesakkan kedua seniman jalanan itu. Tapi sekali lagi, profesi atau eksploitasi-kah ini?
"Kamu tuh pelit banget sih!" aku membentak setengah berteriak padanya. Nadaku mengandung kemarahan, memang aku tersinggung, kecewa dan sedikit marah padanya. Dia salah satu orang yang tidak tahu cara beramal. Dia pelit.
"Jamu Neng!" dengan senyumnya yang ramah dia mampir dari tiap rumah ke rumah. bukan hanya berbotol-botol jamu yang memberatkan punggungnya, tapi beban-beban hidupnya, kesusahannya, juga perjuangannya untuk tetap hidup juga mengisi bakul jamu yang selalu digendongnya. Namun senyumnya selalu berkembang, dia selalu siap melewati hari tanpa ragu dan mengeluh. Bagaimana dengan kita?