Gestapuwani

     “Generasi bangsa ini sudah rusak! Mengakar sampai ujung akarnya, tidak akan pernah bisa dirubah kecuali semuanya mati, luluh lantak tak tersisa dan barulah lahir bibit-bibit baru yang segar!”
Begitulah rentetan kalimat yang aku baca dalam facebook-ku. Status ini baru saja dibagikan sekitar tiga jam yang lalu.
     Penulis itu bernama Gestapuwani, seorang perempuan berparas manis bertubuh mungil dan berpikiran kritis. Dia selalu menulis statusnya dengan kata-kata puitis, kadang kritis, kadang lucu, kadang mengesankan. Dia junior-ku di kampus. Aku selalu mengikuti perkembangan dirinya, dari tingkah lakunya yang cuek namun sedikit manja atau sifat kekanak-kanakannya yang ngangenin dan membuat aku selalu merasa ingin memilikinya.
     Aku selalu memperhatikannya dari kejauhan, kalau anak muda zaman sekarang bilang aku ini: secret admirer. Aku sering mengirimkan pesan singkat berisi bahasan-bahasan terkini, entah itu dalam bidang politik, perekonomian bahkan masalah cinta pun aku bahas dalam pesan itu. Dan kesan baikku memuncak karena responnya selalu positif.
     Seminggu yang lalu aku berpapasan dengannya ketika dia baru saja keluar dari perpustakaan. Matanya sembab dan kantung matanya terlihat seperti tidak tidur beberapa hari. Matanya tertunduk lesu menyapu lantai, namun pandangannya kosong. Rona ceria di wajahnya seakan sirna dan berganti dengan misteri. Aku mencoba mengorek informasi tentang keadaannya namun nihil. Dan setelah itu dia menghilang.
     Status ini membuatku tidak bisa tidur. Argumennya itu tidak mewakili raut wajahnya seminggu yang lalu dan menghilangnya ia di pelataran kampus. Sejak hari itu dia memang tidak pernah memperbaharui statusnya, hanya saja sehari setelah pertemuan itu dia mengganti foto profilnya dengan sosoknya yang sedang menitikan air mata. Aku semakin dibuatnya penasaran, sampai gila rasanya menunggu dan mencari dirinya.
***

     “Gesta!” panggilku ketika melihatnya di pelataran kampus pagi ini. Aku melambaikan tanganku tanda menyuruhnya mendekat. Wajahnya sedikit membaik dari saat terakhir kita berpapasan. Dia tersenyum ke arahku dan mendekat.
     “Bang Sadam manggil Gesta?” tanyanya polos. Aku mengangguk. Sesaat kemudian dia duduk di sampingku dan menyodorkanku selembar pamflet. ‘Feminisme memperbaharui kualitas generasi bangsa’ begitu tulisan dalam pamflet itu. Kubaca sekilas, rupanya itu seminar sehari yang dibawakan oleh kaum feminis.
     “Abang berminat?” tanyanya. Aku menggeleng. Wajahnya memasang mimik kecewa, namun sedetik kemudian dia tersenyum dan bangkit.

     “Baiklah kalo begitu. Aku kuliah dulu ya bang!” dia beranjak pergi, aku menahannya.
     “Gesta, kamu feminis?” pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku. Bola matanya berputar, berpikir dan sedikit tertegun.
     “Mungkin, hehe!” jawabnya polos dan cengengesan. Aku sedikit kaget, tapi matanya menyimpan sejuta jawaban dari hanya sekedar ‘mungkin’ dan ‘hehe’. Aku membalas senyumnya yang manis itu dan mengacungkan jempolku ke arahnya seraya ikut menemaninya berjalan menuju fakultas.
     “Ges, nanti sore temenin abang ke toko buku ya! Sekalian abang traktir kamu beli buku deh, kamu kan suka baca, tapi jangan komik ya!” kataku ‘sambil menyelam minum air’.
     “Ah, abang ini kocak. Tapi oke lah, traktir aku buku ‘Postfeminisme’ aja ok! Nanti jam dua ketemu di kantin ya!” dia menepuk lenganku dan terburu-buru menuju kelas.
     Sesuai janjinya dia datang tepat waktu, malah lebih cepat lima menit. Wajahnya yang sumringah membuatku tidak kuat menahan senyum. Kami berjalan berdua menuju toko buku sambil bercanda dan sedikit membahas dirinya. Penilaianku adalah dia perempuan mandiri yang mencoba berusaha tegar. Memang benar bahwa perempuan itu seperti awan; dari jauh terlihat kuat dan padat, namun ketika disentuh dia rapuh. Itulah sosok seorang Gestapuwani kesayanganku.
     “Bang, aku udah dapet bukunya. Kita gak lama-lama disini kan?” tanyanya sedikit merajuk. Aku terus mencari cara untuk terus bersamanya dan menelanjangi pemikirannya. Akhirnya aku berkesempatan untuk mampir ke rumahnya. 
     Disini sepi, dia tinggal sendiri. Dari ceritanya, orang tuanya ada di kampung halaman, dia tinggal di rumah almarhum kakeknya dan hanya sendiri. Koleksi bukunya banyak dan rumit. Satu hal yang membuatku tercengang ketika membaca sebuah replika tulisan tangan almarhum kakeknya yang berukuran kira-kira satu meter yang juga dibingkai dan di pajang di tembok ruang baca. 

Gestapuwani; cucuku…

Seorang wanita hebat dan tangguh! Darah seorang pemberontak mengalir di tubuhmu. 30 September tanggal lahirmu yang juga menuntutmu menjadi seorang pemberontak! Jangan takut pada kesendirian, kehampaan hanya bayang-bayang semu kehidupan. Kau adalah wanita sejati yang Tuhan ciptakan. Jangan menyerah pada keadaan apapun, ingat kau adalah seorang PEMBERONTAK!

Motivator terbaik bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Tapi, motivator terbaik hanyalah kamu, dirimu, jiwamu dan pemikiranmu. Itulah mengapa aku memberimu nama Gestapuwani : Gerakan September Tiga Puluh Wanita Indonesia.


Jadilah pemberontak sejati, maka aku akan bangga memanggilmu; cucuku!


Salam sayang, 
Warnaen sang pemberontak


     Begitu kira-kira tulisan itu dipajang dengan rapi. Gesta pasti menyimpan surat aslinya dengan baik. Mungkin ini rahasia dari dirinya selama ini. Kata ‘pemberontak’ yang ditulis berulang kali membuatnya harus menutupi kerapuhannya demi menyandang predikat cucu terbaik.

     “Kenapa bang?” Gesta mengagetkanku. Refleks tanganku menunjuk ke arah replika surat raksasa itu. Dia ber-oh- ria dan duduk di sofa nyaman berwarna merah maroon.
     “Itu surat wasiat yang kakek kubur di gunung tempat kami selalu kemping. Dia benar-benar seorang pemberontak sejati. Di umurnya yang sudah terbilang tua, juga dengan penyakit asmanya yang kadang kambuh, dia masih bisa mengajakku berkelana mendaki gunung dan berenang di pesisir pantai. Dia dulu seorang pejuang. Seorang yang bermuka dua. Dia menggeruk isi kepala orang-orang Belanda, kemudian menusuknya dari belakang. Dia meninggal sepuluh hari yang lalu tepat dihari ulang tahunku. Dia bersikeras naik ke gunung Bromo dan meninggal disana. Disana memang tempat yang sama ketika dia bertemu dengan nenekku dan tempat nenekku menghembuskan nafas terakhirnya” akhir ceritanya disertai dengan tawa sinis dari bibirnya. Tapi setitik air menggenang di pelupuk matanya. Itu alasan mengapa dia terlihat kacau seminggu yang lalu. Cerita yang tragis, kebetulan dan berkesan. Sesaat kemudian dia menghapus air matanya dan tertawa untuk menutupi kesedihannya. Aku tahu betapa sakitnya perasaannya saat ini. Aku merangkulnya, membawanya ke pelukanku dan memberinya ruang untuk menangis sejadi-jadinya. Kadang manusia harus menangis untuk mengembalikan kekuatan dari dalam dirinya.
     “Gesta, kamu bisa membuka hati untuk abang supaya abang bisa menguatkan kerapuhan kamu?” aku memberanikan diri berkata seperti itu di sela-sela tangisnya. jantungku berdetak hebat menunggu detik-detik jawabannya. Tak kusangka dia melepaskan diri dari pelukanku. 
     “Maaf bang, lebih baik abang pulang sekarang” jawabnya mengusirku.
     “Gesta, abang gak bermaksud menyinggung perasaan kamu!” aku ber-alibi.
     “Bang, sekali lagi aku bilang abang pulang aja sekarang!” dia berjalan menuju pintu depan. Aku tidak bergeming, aku tetap pada posisi dudukku. Dia kembali ke tempatku, menarik tanganku untuk mengusirku, aku menariknya kembali sampai dia menyerah dan duduk. Dia tertunduk bingung dan kesal. Nafasnya masih memburu. Aku menunggu.
     “Gesta gak berniat punya pacar bang! Gak berniat punya pasangan hidup, apalagi generasi penerus! Gesta feminis bang!” jawabnya lirih. Aku tertawa.
     “Memangnya apa arti feminis menurutmu?” tanyaku.
     “Seorang perempuan yang sama derajatnya dengan laki-laki, sama kuatnya dan juga sama hak dan kewajibannya. Perempuan yang tidak dijajah oleh laki-laki, perempuan yang mandiri dan tidak membutuhkan laki-laki!” jawabnya seperti membaca buku, bukan berargumen.
     “Kamu salah besar mengartikan sosok feminis Gesta!” sergahku. Dia terdiam.
     “Kamu hanya ikut-ikutan diam di ketiak Kartini Gesta! Apa kamu gak malu dengan predikat kamu yang selama ini dikenal orang sebagai seorang yang kritis dan pemberani namun kemudian orang tahu kamu hanya seorang feminis ikut-ikutan, feminis aliran sesat!” kataku menekannya. Dia mencari alasan.
     “Takdir terbaik adalah ketika kita tidak dilahirkan! Aku cuma gak ingin keturunan aku merasakan hal yang sama denganku, menderita, sakit dan terbebani” katanya terbata. Akhirnya dia berkelit juga. Kuakui pemikiranya terlampau jauh dalam hal kehidupan, jauh melampaui pemikiran perempuan seusianya.
     “Kamu cari aman Gesta, kamu menyembunyikan sesuatu!” kuangkat wajahnya, memaksanya menatap mataku. Bola mata berwarna coklat bening itu memerah karena tangis. Dia masih terisak, tapi air matanya mulai mereda.
     “Gesta putus asa bang! Orang tua Gesta bangkrut sebulan yang lalu, ayah sakit dan ibu terpuruk. Setelah itu tunangan Gesta pergi ninggalin Gesta gitu aja, dan sepuluh hari yang lalu, orang yang paling Gesta sayangi pergi juga untuk selamanya. Dua pilihan Gesta saat ini; mati atau hidup menyendiri. Makanya Gesta berpikir untuk menjadi seorang feminis” dia bercerita dengan susah payah menahan tangisnya. Ada rasa sakit yang kemudian menelusup ke dalam hatiku, namun kemudian aku tertawa. Dia terheran-heran dengan tingkahku. Satu trik dalam menghadapi orang yang sedang terpuruk adalah dengan membawanya senang dan ceria.
     “Gesta, menjadi seorang feminis bukan cara menghindari permasalahan. Baca dulu buku feminisme yang banyak, berpikir, kemudian berbuat. Persepsi kamu itu masih salah! Sekarang, jadilah seorang feminis yang benar dan tepat, bukan feminis ikut-ikutan dan abal-abal” aku memperbaiki posisi dudukku, aku genggam tangannya, kutatap matanya lekat dan tersenyum dalam.
     “Feminis sejati adalah pemberontak sejati. Seorang wanita yang bisa menempatkan dirinya di tempat yang tepat dimana ia harus berada. Sekuat apapun kamu menyetarakan diri dengan seorang laki-laki, tetap saja kamu ini hanya bagian dari tulang rusuk laki-laki yang hilang dan bengkok. Sekuat apapun kamu, tetap saja kamu itu rapuh! Seorang feminis yang benar adalah dia yang pintar, cerdas, sabar dan yang mau membagi perannya dengan laki-laki, mengembalikan takdir penciptaannya dan menjalankannya tanpa terus menerus mencari alasan untuk merasa lebih kuat dari laki-laki dengan harapan tidak ingin ditindas. Seorang perempuan berada di belakang laki-laki bukanlah sebuah penindasan, namun pembagian peran dalam kehidupan. Sedangkan feminis yang tepat adalah perempuan yang berada di sebelah kiri laki-laki. Laki-laki pilotnya dan perempuan co-pilotnya. Seorang perempuan yang tidak menolak berjalan bersama tanpa saling meninggalkan dan berlaku jahat satu sama lain. Jadilah pendamping terbaik, maka kamu akan menjadi feminis terbaik. Itu yang diharapkan Kartini bukan?” aku terdiam menunggu responnya dari kata-kataku. Dia tertegun, mengangguk dan memelukku erat.
     “Jadi, siap abang kuatkan?” godaku. Dia berpikir, tersipu kemudian mengangguk kecil dan tertawa. ‘aku akan menjadi pemberontak kecil, meluluh lantakan hatimu agar selalu bersamaku’ janjiku dalam hati.


Gestapuwani

Bogor, 02 Desember 2010

Teruntuk, perempuan-perempuan hebat yang masih menjaga kualitas ‘ke-perempuanan-nya’

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Doger Ceria"