Bola-Bola Kehidupan

                “Lebih baik kau ubah kelakuanmu itu, sebelum Tuhan mengutukmu dan tidak pernah memberikan tempat setelah kematianmu nanti” Aku berteriak sejadi-jadinya sambil menyeret kaki sialku menuju dapur.
                “Jangan pernah bawa-bawa Tuhan di hadapanku,
ini tak ada kaitannya dengan Tuhan” Jawabnya dengan volume suara yang tak kalah dariku.
                “Lalu apa yang harus aku bawa hah? ibumu? kuburan ibumu?”
                “Hei, apalagi itu! Sudah beberapa kali aku bilang, orang yang sudah mati itu tak ada kaitannya lagi dengan kita yang masih hidup” matanya melotot ke arahku yang masih sibuk dengan piring-piring kotor yang menumpuk.
                “Siapa yang bilang orang mati tidak berhubungan dengan orang hidup?” Aku menantang.
                “Al-Quran, aku membacanya. Aku tahu itu!” matanya mendelik tajam. Aku merasa menjadi orang paling bodoh se-dunia dengan pernyataannya.
                “Apa? sekali lagi kau jawab, Al-Quran?” Aku mendekatinya.
                “Ya, tentu saja”
                “Tak tahu malu, seumur hidup aku menikah denganmu, tak pernah aku lihat kau membacanya. Jangankan membacanya, menyentuhnya pun tidak!”
                “Dulu aku belajar bersama ibuku, aku masih ingat itu!”
                “Kalau kau memang benar pernah membacanya, mempelajarinya hingga kau berceramah padaku pagi-pagi buta seperti ini, carilah surat dan ayat yang bisa kau baca dan bisa menghentikan kebiasaan mabukmu itu dan berhenti merajuk!” Emosiku tersulut sangat.
                Pagi-pagi buta dia baru pulang dengan aroma arak murahan dari mulutnya, kemudian dia datang padaku yang sedang tidak enak tidur karena janin yang membuatku mual berhari-hari. Belum selesai penderitaanku, dia minta dilayani dengan servis yang maksimal. Satu hal yang kupelajari, hasrat orang mabuk, kalau bukan ingin membunuh, berarti dia ingin bermain seks hingga gila.
                Sudah kupenuhi keinginannya, karena kupikir daripada aku menderita karena mual yang aku rasakan, lebih baik aku juga memanjakan diriku untuk sedikit mengendorkan urat-urat di kepala. Dengan fantasi dan gurauan kecil saat bermain bisa menjadi hiburan yang menarik saat ini, karena satu-satunya barang penghibur di rumah ini adalah televisi, tapi kemarin sore dibawanya oleh para pesuruh rentenir itu karena kreditnya sudah dua bulan belum juga dibayar. Sungguh malang.
                Semua keceriaanku di pagi buta sirna sudah, berganti kemarahan yang tak terbendung lagi. Pasalnya suamiku itu terus saja menyuruhku kembali menjadi diriku yang dulu. Sial, sungguh sial!.
                Dulu aku seorang pelacur terkenal dengan wajah cantik menawan serta tubuh yang indah dan padat. Tidak ada seorang laki-laki pun yang tahan dengan godaanku. Aku pelacur yang disayangi bandarku, bukan hanya aku menghasilkan keuntungan materi baginya, tentu saja kepuasan batin pun aku penuhi.
                Laki-laki itu bernama Bedjo, wajahnya tampan, badannya menawan, aroma tubuhnya pun begitu mempesona. Awalnya aku menyukainya, bahkan tergila-gila padanya. Apapun yang dia inginkan pasti aku penuhi dengan senang hati. Sampai akhirnya aku terjerumus pada perangkapnya. Dengan mengatas namakan cinta, dia mulai menjadikanku piala bergilir. Awalnya hanya berbagi pada sahabatnya, lalu teman-temannya. Bercinta dengan tiga orang sekaligus, beramai-ramai, berlaku bak setan wanita. Mereka bilang petualangan cintaku begitu hebat, liar dan memuaskan. Lalu akhirnya Bedjo mulai menjualku dan menjadikanku ladang uang tiada henti, bodohnya aku yang dibutakan cinta.
                Bertahun-tahun berlalu, aku masih setia pada Bedjo. Aku terlanjur mencintainya, meskipun aku tahu dia tak hanya berbagi ranjang denganku. Pernah saking gilanya dia, empat orang pelacurnya dibawa sekaligus untuk melayaninya bak raja minyak dikelilingi selir-selir, dan disitu juga ada aku yang juga ikut melayani. Ada rasa sakit di ulu hati ketika melihatnya bercumbu dan bersetubuh dengan yang lain, padahal yang kumau adalah seluruh tubuhnya hanya milikku. Cukup aku saja yang melayaninya, aku kira itu sudah memuaskan.
                Satu peristiwa terjadi, hari itu kali kedua aku diajaknya pergi menuju rumah seorang laki-laki yang sudah berumur bernama Bang Harjo, begitu sebutanku padanya. Beliau seorang ternama di kotaku saat itu. Seperti saat pertama, aku disuruh untuk memberi servis terbaikku. Aku diberi Bedjo sebuah handycam yang harus kuletakan di atas meja yang sudah ditatanya. Ternyata adegan itu direkamnya tanpa ketahuan oleh laki-laki tua itu. Kemudian bencana demi bencana datang.
                Bedjo memeras Bang Harjo dengan dalih akan menyebarkan video itu. Dasar laki-laki bodoh! Tentu saja, sebelum video itu menyebar, dia akan mati duluan.
                Harjo tentunya punya pengawal dimana-mana, aku dan Bedjo dijebak pula dalam permainan Harjo. Aku yang tak tahu apa-apa pun jadi terlibat sangat jauh. Kami berdua disekap, Bedjo disiksa dan aku dipaksa melayani Hardjo mati-matian. Walaupun laki-laki itu tua, tapi stamina seksualnya sangat tinggi. Aku sampai menangis dibuatnya. Belum pernah aku tersiksa seperti itu, walaupun aku melayani sepuluh laki-laki dalam semalam pun, kali ini aku jauh tersiksa.
                Penderitaanku pun belum selesai, setelah berhari-hari aku mati-matian melayani bandot tua itu, dilemparnya aku ke gudang dengan keadaan telanjang. Aku diperkosa tujuh laki-laki berbadan besar, aku pingsan seketika. Mereka pengawal Harjo.
                Akhirnya aku tersadar, aku lihat Bedjo masih terikat dan tertunduk lesu. Wajahnya lebam, darahnya sudah mengering. Aku dekati dia, kupeluk dia. Dia menatapku, tersenyum dan berkata “lain kali kau cari bandar yang lebih tampan dariku, tapi jangan tergila-gila padanya. Nanti kau dimanfaatkan”.
                Hardjo datang dengan pengawalnya, dia melihatku telanjang dan tersenyum senang. Diambilnya senapan angin yang selalu dipakainya berburu burung dan rusa. Dia tembakan senapannya lima kali tepat di dada Bedjo. Aku sedih sekali, melihat laki-lakiku dibunuh dihadapanku. Aku ingin menjadi gila rasanya, agar aku tidak pernah mengingat kejadian itu lagi. Aku diseret lagi, aku disuruhnya mandi dan diberinya sepasang bikini berwarna merah. Aku menari telanjang semalaman, ditelanjangi dan diperkosa ramai-ramai.
                Pagi-pagi benar aku terbangun, kepalaku puyeng dan badanku rasanya remuk. Aku dibuang di pinggir jalan jauh dari kampungku, syukur dengan keadaan berpakaian benar. Aku menemukan surat di saku kemejaku, isinya ancaman dan pernyataan bahwa kakiku dipotong sampai mata kaki.
                Setahun aku meratapi kepergian Bedjo, kala itu aku masih gila cinta. Sampai akhirnya secara tak sengaja aku bertemu Mas Amril di pelataran mesjid.
***
                Mas Amril pulang ke rumah dengan wajah menyebalkan. Dilemparnya uang setoran angkotnya padaku. Kami masih bersitegang, percakapan pagi tadi aku tutup dengan lemparan piring yang mengarah padanya hingga pecah dihadapannya. Dia menyerah dan segera pergi dengan topi dan handuk lusuhnya.
                “Itu uangnya, cukup buat seminggu kan?” nada bicaranya datar.
                “Seminggu? yang benar saja? mana sisanya? keluarkan, jangan terus kau pakai mabuk!” emosiku naik lagi, tidak seharusnya begini, aku harus ingat janinku.
                “Cukuplah segitu, memang mau beli apa? makan cuma berdua, tak ada anak, tak ada yang lainnya! Kalau mau uang yang lebih banyak, melacur saja lagi!” nada bicaranya mulai naik, matanya mendelik tajam. Aku tersinggung.
                “Sekali lagi kau menyebut kata pelacur itu, aku yakinkan tanganku tak akan meleset melempar piring ke kepalamu!” Aku bangkit dari dudukku, namun dia menarikku hingga duduk kembali disampingnya.
                “Aku mengharapkan istriku hormat padaku, kenapa kau menjadi pembangkang seperti ini? liar sekali perangaimu, memang begini ajaran bandarmu dulu?” sorot matanya membidik tepat mataku. Sedari dulu, amarah dan tatapan ini yang aku takuti darinya.
                “Aku juga berharap aku menemukan kehidupan yang lebih baik dari kehidupanku yang dulu. Ketika kita bertemu, aku menaruh harapan besar padamu. Aku kira kau seorang ustadz yang taat dengan peci putih dan baju koko yang meyakinkan itu, aku tertipu mentah-mentah. Belakangan aku tahu, ternyata kau pencuri sandal. Ustadz gadungan!” Aku bangkit, berjalan menyeret kaki kayu-ku, namun terhenti. Perutku terasa melilit, kepalaku pusing tak karuan. Ada darah segar mengalir di selangkanganku.
                “Puspita, hey… apa-apaan kau ini?” Aku terjatuh dan tergeletak di lantai keramik putih itu, Mas Amril terkejut dan segera menyangga bagian tubuhku, meskipun dia kasar, pemabuk dan ustadz gadungan, tapi selama pekawinanku dengannya, aku merasakan kasih sayang tulus ada pada dirinya. Dia yang menerimaku apa adanya. Baru belakangan sebenarnya dia terlihat mabuk dan keluyuran sampai malam, mungkin dia depresi.
***
                Ketika aku tersadar dan mataku terbuka, sosok Mas Amril ada di hadapanku.
                “Kau di Klinik! Kenapa kau tak bilang kau sedang mengandung?” Tanyanya seperti bingung namun mendesak.
                “Tadinya aku mau gugurkan kandungan ini mas” jawabku lemah.
                “Lho, kenapa?” dia terkejut. Aku diam beberapa saat.
                “Aku ragu, aku khawatir dan aku takut” jawabku lambat.
                “Apa arti semua itu? jelaskan, jelaskan!” pertama kalinya sejak tiga bulan yang lalu dia menggenggam erat tanganku, suasana ini tak ingin aku lepaskan begitu saja.
                “Aku tak tahu mas!” jawabku sambil memalingkan muka darinya dan air mataku mulai rembes.
                “Kau tak mungkin tak tahu, kau yang menyatakan tadi, tentu kau punya alasannya! Jawab Puspita, aku mohon!” dia begitu ngotot, rasa ingin tahunya tiba-tiba sangat besar.
                “Kenapa mas begitu ingin tahu? bukankah mas tidak peduli dengan semua ini?”
                “Siapa bilang? oke, okelah belakangan ini aku mengaku aku salah. Aku tertekan Puspita, sungguh” pernyataan itu sebenarnya sudah aku ketahui meskipun dia tidak menjelaskannya secara verbal.
                “Tertekan?”
                “Ya, aku serba salah. Aku menabung dari awal kita menikah, aku ingin punya keturunan. Tapi tak juga kau mengandung. Aku sedih, setiap kali kutanya kau, jawabanmu sama semuanya. Aku mengira kau mandul. Jadi aku hambur-hamburkan saja uang itu, berfoya-foya. Sebenarnya aku tidak mabuk, hanya membuat racikan dari ketan saja yang kuramu sampai berbau seperti arak supaya kau tahu aku mabuk. Aku berniat kawin lagi Puspita!” pengakuannya diiringi dengan tetesan air mata dan kepala yang tertunduk tepat di sampingku.
                “Maafkan aku mas, sungguh aku tidak berniat menyakiti hatimu. Sejak lama aku pasang KB, malah dari awal kita menikah. Aku hanya belum siap menjadi seorang ibu
                “Sejak lama aku berpikir, semenjak aku tahu kau bukan seorang mualim seperti yang aku harapkan, kekhawatiranku menjadi-jadi. Jika pikiranku sempit, mungkin kita sudah beranak tiga mas. Bukan hanya rasa nikmat yang menjadi candu hiburan setiap malam, tapi juga pergulatan panjang dalam benakku. Janin yang ada dan mungkin akan ada lagi selanjutnya adalah bola-bola kehidupan. Jika kita pantulkan dengan keras, maka dia akan melesat jauh, bisa berbahaya, bisa melukai orang lain, bisa merusak apa yang ada di sekitarnya. Jika kita pantulkan dengan perlahan, dia masih bisa tertangkap namun lemah. Kita yang punya kendali mas!
                “Satu waktu aku berpikir, jika anakku lahir ke dunia, sedang ibunya seorang mantan pelacur dan ayahnya seorang mantan pencuri. Apa yang akan terjadi padanya?” Aku menjelaskan, dia termenung.
                “Aku sudah berubah Puspita! Sejak pertemuanku denganmu, sejak kejujuranmu tentang keadaanmu, aku pun berpikir. Kita pasti pernah punya kesalahan, punya masa lalu yang sama-sama kelam. Tapi kita pun sama-sama punya kesempatan untuk berubah, menjadi lebih baik. Aku pun salah karena tak pernah menjelaskan isi kepalaku padamu. Aku mengira kau takkan berpikir sejauh apa yang aku pikirkan, tapi ternyata aku salah. Kau berpikir jauh lebih keras dibanding aku.
                “Kita sudahi kesalah pahaman ini, kita sudahi rasa saling merendahkan diantara kita. Kita mulai membenahi bola-bola kehidupan yang akan kita miliki” kata-kata itu begitu sakti, menelusup jauh menuju ujung hatiku. Ada cinta yang kemudian tumbuh dengan sendirinya, setelah sejak lama hanya menggantungkan kehidupan pada laki-laki ini.
***


Gestapuwani
Garut, 17 Juli 2010



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gestapuwani

"Doger Ceria"