HANTU ITU BERNAMA "MAAF"

                    Aku tak pernah yakin mayat ini bisa bangkit dan memaafkanku.
                Emosiku menderu-deru seiring angin malam yang dingin menusuk ke tulang rahang.
Air mataku sudah mengalir dahsyat dari tiga hari yang lalu. Kenangan-kenangan manis yang terpatri sedari dua puluh tahun yang lalu, ribuan gelak tawa, air mata dan rentetan kalimat-kalimat penggugah jiwa sudah kutelan bersamanya. Di hadapanku kini menggunduk tanah merah yang basah dengan air mataku. Tanahnya berserakan tak karuan setelah kucabik-cabik dengan cakarku. Namanya jelas tertera pada batu nisan yang kupesan sendiri lima tahun lalu saat seminggu setelah dirinya pergi dariku. Aku tak pernah menjadi beban baginya begitupun dia yang juga tak menjadi beban untukku. Maka kupesan dengan hati yang datar sebuah batu nisan berbahan marmer berwarna abu-abu dan kupesan pula cat hitam yang mengkilat untuk nama di atasnya.
                SAPTODIHARDJO begitu mulusnya nama itu bertengger pada tanah merah dengan rumput liar di sekitarnya. Kau tahu, betapa seringnya aku datang untuk sekedar memberikan seikat kembang mawar kesukaanku? Aku bawa serta dengan pot-pot mungil dan kuletakan melingkari rumahnya ini. Kuberi melati pada tanah basahnya yang selalu kusiram, wanginya sangat ia sukai. Dulu dia sering menanam pohon melati untukku, demi cucunya yang tercinta ini. Ya, dia sangat mencintaiku. Nalarnya tentang aku selalu menerawang pada bunga-bunga putih, kecil dan wangi itu. Dia selalu bilang aku adalah jelmaan dari bunga itu. Begitu indahnya kasih antara kakek dan cucu yang selalu membuat iri para kerabatnya yang tak pernah dekat dengan cucunya.
                Kini semua itu terlalu pekat untuk dibayangkan. Berhari-hari aku menghuni bukit ini seorang diri, berharap bisa membangunkannya dari tempat tidurnya. Berjam-jam aku bersumpah di hadapannya, akan kutepati keinginannya jika ia bangun dan menemuiku.
                Tiga hari yang sial harus bergumul dengan tanah kuburan dan sengitnya ambisi pada kakekku ini. Tolonglah aku kek…raungku di setiap air mata yang membanjir di pipiku.
                Aku mulai lelah, lemas dan mataku buram. Masih panas terasa pelipisku karena terlalu sering berteriak. Aku sandarkan tulang punggungku pada pohon kamboja sebagai hadiah ulang tahun kakekku dua tahun lalu, pandanganku nanar melihat rumah kakek tersayangku hancur oleh cucu tersayangnya.
                Aku masih ingat ketika dia memanjakanku setiap hari. Mulai dari membuka mata sampai membuka mata kembali di hari berikutnya. Dia yang selalu menggaruk punggungku, membisikanku tentang cibirannya pada istrinya yang bawel. Tawa kecilnya yang selalu ada di sudut bibirnya, mata sayunya yang teliti pada setiap peristiwa. Tangannya panjang, dia sangat senang menanam. Satu-satunya yang paling berharga untuknya adalah pohon melati di pekarangan rumahnya. Aku juga ingat bagaimana cara dia berjalan dengan tongkat pemberian dari anaknya yang tinggal di luar kota. Aku juga masih merasa bagaimana erat genggaman tangannya saat mengajakku menyebrang jalan. Dan bagaimana sulitnya membangkitkan senyumannya setelah istri yang sangat dicintainya pergi lebih dulu darinya. Memori indahku yang rusak dengan ulah aku dan ibuku.
***
                Hari itu seorang anak laki-lakinya datang padanya. Mereka berbicara sangat serius. Aku tak tahu pasti apa yang dibicarakannya. Namun, belakangan ini kuketahui bahwa pembicaraan hari itu terkait dengan utang ibuku yang diinginkan oleh anak laki-lakinya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya karena pada saat itu dia sedang dalam permasalahan kriminal mengenai penggelapan uang pemerintah. Sungguh mengesalkan tragedi memalukan itu juga harus membawa nama baik kakekku dan tentu keluarga besarnya.  
                Ibuku yang sedang mengandung adik terkecilku sedang dalam emosi yang tak stabil ketika kakek bertanya tentang uang investasinya di perusahaan yang dikendalikan ayahku. Saat itu adalah saat sulit bagi ibuku menjelaskan uang itu karena perusahaan ibu dan ayah sedang dalam masa sulit. Ayah gagal dalam kerjasamanya dengan pihak lain sehingga mendapat kerugian yang sangat besar. Kakek yang sudah terlanjur termakan rayuan anak laki-lakinya yang picik itu pun tidak mau tahu dengan keadaan perusahaan orang tuaku. Pada saat itu dia menjadi marah dan emosi tak terkendali.
                Saat itulah perang terjadi antara kakekku dan ibuku. Keadaanku masih remaja, tak mengerti permasalahan yang sedang terjadi antara ayah, ibu dan kakek. Yang aku ingat adalah saat-saat aku tidak boleh bertemu dengan kakekku dengan alasan dia sedang sakit keras. Pertanyaan demi pertanyaan menyerbuku saat itu. Ribuan kali aku bertanya pada Ayah dan Ibu tentang alasan mengapa aku tak boleh bertemu kakek pun tetap ada pada jawaban yang sama. Aku kecewa, bingung, menderita karena hanya kakeklah orang yang sangat tepat menjadi pelabuhan segalanya bagiku. Sampai satu hari aku mendapat telepon untuk segera menghadap kakekku. Tanteku bilang ada hal yang ingin dia bicarakan. Tentu saja aku takkan menolak, rasa rinduku yang membuncah dan cerita-ceritaku yang menumpuk sudah ingin aku utarakan satu demi satu padanya.
                Sesampainya disana, tubuhnya terkulai lemas. Rambutnya sudah memutih, hampir semua bagian. Tiga bulan yang miris harus kehilangan malaikatku. Aku mencium pipinya yang berkerut, matanya terpejam, perutnya membuncit. Tanteku bilang tiba-tiba saja perutnya membesar sejak satu minggu yang lalu. Kemudian matanya yang senja itu terbuka perlahan, tatapannya mengarah dalam padaku. Lalu ujung bibirnya tersenyum simpul. Kau tahu, betapa dalam luka yang aku rasakan saat itu. Tersayat sangat dalam, perih dan pilu. Air mataku merembes seketika dengan senyum yang masih kupertahankan. Kupeluk tubuhnya yang kurus. Aku sungguh tak mengenali kakekku ini. Kakek tua yang cerewet, galak dan sok tahu. Namun membuatku selalu bisa hidup dalam situasi apapun.
                Dia memintaku untuk menemaninya. Kupijat kakinya, kuelus rambutnya dan kutemani dia tidur sampai pagi menjelang.
                Pagi sekali wangi nasi goreng sudah menembus bulu hidungku, kakekku duduk di tepi kasur dan memerhatikanku yang meringkuk semalaman di sisinya. Aku sangat terkejut melihatnya begitu segar pagi ini, rambutnya sudah basah dengan krim andalannya, bajunya sudah rapi dan wangi parfum melati kebanggaannya serta tak pernah dilewatkannya senjata hebatnya tongkat runcing berwarna coklat gagah yang selalu dibawanya.
                "Hey Melati, cepatlah bangun. Aku ingin bercerita untukmu pagi ini. Lekas kau mandi, kita harus mencari bibit tanaman untuk tamanku yang sudah mulai gundul. Cepatlah, merah mawar merekah harus cepat kita jemput sebelum kakek tua lain membelinya" begitu kalimatnya lantang keluar dari mulutnya yang bersih.
                Aku masih belum percaya tentang semua ini. Aku masih berpikir ini adalah mimpi karena kerinduan dan kesakitanku yang teramat besar pada kakekku. Tapi ini nyata, dia memukulkan tongkatnya pada pantatku dan itu sakit sekali. Ini artinya aku tidak sedang bermimpi. Terimakasih Tuhan, kau anugerahkan keajaiban untuk kakekku yang Bengal ini.
                Dua hari aku menemaninya,  ibuku mengacuhkan kepulanganku. Tak ada pertanyaan atau sedikit kata padaku.  Aku tahu dia geram pada kakekku, tapi tak berarti aku harus geram pula padanya.  
                Seminggu kemudian pamanku menelepon, dia bilang kakek ingin bertemu aku dan ibuku. Dia ingin bercukur, tapi harus dengan tangan ibuku. Ya, ibuku adalah anak yang paling disayanginya. Maka dari itu dia menyayangiku berlimpah ruah sampai cucu-cucunya yang lain merasa hanya akulah cucunya.
                Kubujuk ibuku dengan segala cara. Awalnya dia bersikeras menolak, namun pada akhirnya dia menyerah juga. Pertemuannya dengan kakek sangat dingin, ibu hanya benar melakukan apa yang kakek minta, tak berbicara apapun. Kakek memintaku membuatkan jus orange. Ini tidak biasanya.
***
                "Kakek udah gak ada, kamu cepat datang!" telepon itu mengeluarkan suara tanteku  yang mengejutkanku yang baru saja bangun. Kulihat jam, masih sangat pagi. Jam 04.15.
                Ibuku sudah menangis di ruang depan, aku tahu dia pasti sangatlah menyesal karena harus berperang pada saat-saat terakhir kakekku. Sedangkan aku masih bingung apa yang harus aku lakukan. Tidak tahu kenapa perasaanku biasa saja, aku tidak sedih dan tidak ingin menangis. Aku hanya termenung, kemudian aku pergi ke tempat dimana dua minggu yang lalu aku dan kakekku kunjungi. Sebuah bukit dengan pemandangan indah di unjung mata. Dia menanam bibit pohon melati melingkari tempat itu. Tak lupa kuselipkan tiga tangkai bunga mawar merah kesukaanku di sela-sela bibit-bibit itu. Mawarnya membusuk, namun pohon melati itu sepertinya akan terus hidup seiring kenanganku dan kakek. Jauh di belakang bukit ada pekuburan sipil yang terawat. Mengapa aku tak pernah berpikir tentang kematiannya.
                Handphoneku berulang kali berbunyi, telepon-telepon dan pesan sudah ratusan kali  menyuruhku datang untuk memberikan penghormatan terakhir kakekku. Entah apa yang terjadi setelah terakhir kali kusuguhkan jus orange itu padanya. Tak pernah ada kabar lagi darinya walau sekedar mengucapkan "Hai cucuku yang bandel".
                Kudatangi jasadnya yang kaku, hanya kupandangi. Aku tak menangis, tatapanku jelas padanya. Aku diam di sampingnya, menyentuh keningnya, namun tak berani kukecup. Tangannya sudah rapi terbungkus kain kafan. Di sisi jasadnya sudah terdampar kain kafan yang putih dengan kapur barus di atasnya, siap dipakaikan untuk menutup seluruh tubuhnya yang kurus itu.
                "Jangan pakaikan itu padanya. Tunggu!" kataku. Seketika aku ke kamar kakek untuk mengambil kain putih lembut yang pernah dibelinya ketika berangkat haji dulu. Lalu kupetik melati-melati kakek sambil terisak. Ini perasaan kehilangan yang sebenarnya. Kau akan merasakan sakit dan pilu ketika melihat wajahnya yang pucat, hidungnya yang tertutup kapas, kulitnya yang menua dan keriput. Semuanya dingin dan pucat.
                Kuselipkan tiga melati di sebelah pipinya, tiga adalah angka kesenangannya dan tentu melati adalah aku. Biar dia pergi dengan aku di nalarnya. Biar bau melati itu tetap bisa menusuk hidungnya walau dia tak bernapas lagi. Biar aku menjadi napas di kehidupan barunya nanti.
                Kugelar kain putih lembut berjahit lipit di sampingnya. Pemandangan yang menyakitkan untuk seorang aku. Kutaburkan melati-melati yang putih dan bersih itu.
                "Biar dia memakai ini di rumahnya yang abadi" kalimat itu kusampaikan dengan terbata. Sedih terlalu menyelimutiku. Sampai wajahnya tak tampak lagi di bola mataku. Kukecup tangannya yang sudah terbungkus itu, "aku tak menangis lagi untukmu kek, aku janji" itu bisikku padanya. Kemudian aku pergi berhari-hari. Aku tidak menyaksikan kepergiannya menuju rumah barunya. Aku tak mau terlibat perasaan yang terlalu dalam.
***
                Bertahun-tahun kenangan itu masih jelas terpatri di ingatanku. Sebuah memori indah bersama orang yang paling kucintai seumur hidupku.
                Namun semuanya terusik saat ulang tahun kakek yang ke 86. Lebih tepatnya tiga hari yang lalu. Kurang lebih satu bulan aku mempersiapkan kado spesialku untuk kakek yaitu kandang kelinci beserta dua belas ekor anak kelinci yang akan aku bawa ke kerajaannya. Rencananya aku akan melepaskan kelinci-kelinci itu disana agar suasananya menjadi lebih indah. Aku sudah membuat pagar putih di area pekuburannya, supaya kelinci-kelinci itu tidak berhamburan kemana-mana. Semua persiapan sudah selesai, aku sedang asyik menonton video rekaman saat aku merayakan ulang tahun yang ke-5 bersamanya. Wajahnya belum terlalu tua saat itu, kami meniup lilin dengan kompak dan aku terlarut di dalam memori itu.
                "Dua hari sebelum meninggal bapak sakit keras, dadanya sesak, muntah-muntah dan mencret" suara bukde yang sedang mengobrol dengan ibu mengalihkan perhatianku.
                "Aku bilang dia dirawat di rumah sakit saja, biar jelas obatnya dan lekas sembuh. Tapi dia ngeyel ga mau. Malah dia bilang begini :'seharusnya yang berbicara begitu itu cucuku. Aku hanya ingin dia yang mengurusiku saat aku sakit seperti ini. istriku kan sudah tiada. Aku gak punya siapa-siapa lagi selain cucuku, titik'. Begitu keras kepalanya bapakmu itu lho dek" kata-kata itu mengejutkan ibuku, begitu juga aku. Tiba-tiba saja hatiku galau tak karuan. Aku tak tahu harus seperti apa reaksiku saat ini. ini bagaikan sambaran petir dari sekian tahun ingin menyambarku.
                "Aku juga tawarkan untuk menelepon anakmu itu dek, dia kan cucu kesayangannya, tapi dia bilang jangan soalnya takut ibunya marah-marah dan memusuhi cucunya, waktu itu semuanya serba salah. Aku malah yakin kalau bapak meninggal karena dia kekurangan cairan dan beban pikirannya yang terus manteng sama anakmu itu!" ada campuran nada sinis dan menyalahkan. Ibuku sudah menitikan air mata tanda penyesalannya. Mataku pun panas seketika, tubuhku lunglai tak berdaya. Aku seperti ingin ikut mati.
                "Kakek!!! Melati benci kakek!!!" aku berteriak lantang sesampainya aku di taman keabadiannya. Aku berlari sekuat tenaga dengan kekecewaan yang aku rasakan. Tangisanku sudah tak bisa dibendung lagi. Seperti gunung yang hendak meletus. Aku terkapar diatas singgasananya, kucakar tanahnya, kujambak rumput-rumput di sekitarnya. Aku marah. Sangat marah!.
                "Kenapa kakek tega membiarkan aku seperti ini. apa kakek gak berpikir kalau aku akan sangat bersalah membiarkan kakek dalam ketidakberdayaan? Apa kakek gak pernah merasa sebuah penyesalan itu sangat menyesakkan? Kakek macam apa kakek ini?" raunganku terus membuncah sampai aku tak bisa bersuara lagi. Aku terkulai lemah dihadapannya. Memekik, memaki, merusak apa yang menjadi miliknya. Aku hampir saja nekat untuk membongkar kuburannya hanya untuk sekedar minta maaf.
***
Gestapuwani
Bogor, Oktober 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gestapuwani

"Doger Ceria"