Peradaban Malam Menuju Pagi

                Peradaban malam menuju pagi. Lalu lintas sudah mulai beristirahat dari kepadatannya. Jalanan sudah mulai sepi. Hanya lampu-lampu jalanan yang masih setia menemani aspal-aspal yang hitam memudar. Aku berdiri kaku berteman angin malam yang membawa daun-daun jatuh dari naungan kekokohan sang pohon. Senyumku; kecut.
                Peradaban malam menuju pagi. Aku menelusuri trotoar yang panjang, bertemu rusa-rusa yang terlelap berpasangan. Bangunan putih menjulang dengan megahnya, menyimpan kekosongan pada hitam kelam langit malam. Aku menatapnya nanar pada besi-besi pagar yang mengelilinginya.
                Peradaban malam menuju pagi. Aku menginjak sampah-sampah jalanan. Dibelakangku kawanan gelandangan bergerombol menyerukan rasa lapar. Aku bergabung, mengikuti mereka yang kemudian menggelar makanan di trotoar halaman kemegahan gedung putih menjulang. Aku tersenyum, tertawa mengikuti alur canda-canda cabul yang melemaskan ketegangan otot-otot kesulitan hidup. Aku melahap makanan itu, basi! Aku beranjak pergi.
                Peradaban malam menuju pagi. Kulewati restoran makanan siap saji. 24/7 begitu tulisannya. Anak-anak muda berkumpul bersama, tertawa, melahap kentang goreng, roti isi daging, ayam tepung, minuman bersoda. Mereka tertawa, melahap, mengetik komputer jinjingnya, memainkan telepon genggamnya, berfoto bersama, kemudian tertawa lagi.
                Peradaban malam menuju pagi. Aku duduk di halte bis yang kosong. Udara dingin. Beberapa muda-mudi melaju dengan kendaraan beroda dua sambil berpelukan. Ada pula yang sambil mencium mesra tengkuk sang lelaki, bahkan tangan-tangan jahil sang perempuan yang menggerayangi celana dalam sang lelaki.
                Peradaban malam menuju pagi. Diskotik penuh sesak. Perempuan-perempuan cantik, manis dan mempesona bertebaran dimana-mana. Laki-laki bermacam rupa pun ada disini. Minuman-minuman beralkohol  tertata cantik dalam wilayah bartender yang menguasainya. Orang-orang yang berjingkrak penuh emosi dan bergelora memadati setiap ruangnya. Orang-orang yang terkapar mabuk karena minuman dan narkoba pun melengkapi surga orang-orang bebas ini. Tengah malam ini, para penari telanjang sudah naik. Tubuhnya sudah setengah bugil sekarang. Lalu mereka melepaskan g-stringnya sambil menjilati tiang dihadapannya seiring dengan riuh tepuk tangan dan sorak sorai para penghuni diskotik.
                Peradaban malam menuju pagi. Diluar diskotik, diantara sunyi malam yang mencekam,di bawah jembatan penyebrangan dekat taman kota kudengar kegaduhan suara lelaki hidung belang berjaket kulit kusam dan para perempuan jalang berpakaian seronoh beradu irama dengan musik dangdut koplo di pinggir jalan. Botol-botol minuman murahan tergeletak tak berdaya setelah diteguk oleh mereka sampai termabuk-mabuk. Wanita hampir lanjut usia, wanita muda yang baru beranjak dewasa, juga wanita-wanita yang kekurangan sentuhan lelaki sedang bergoyang bersama. Goyang-goyang erotis yang menggugah kelelakian mengaum di tengah malam. Para tukang becak di malam hari termanggu menikmati pemandangan yang menyegarkan hawa kelelakiannya, namun tak dapat bergabung lantaran tak kuat harus menyawer.
                Peradaban malam menuju pagi. Aku bertemu dengan Debora, seorang waria bertubuh molek di halte depan kampusku. Pandangannya iba. Dia genggam tanganku yang kulemaskan, dia usapkan ke dadanya untuk menumbuhkan birahi demi menghiburku. Dia kecup leherku dalam, kemudian menggerayangi tubuhku. Kuberi ia uang pecahan lima puluh ribu, dia melepaskanku.
                Peradaban malam menuju pagi. Sudut penginapan itu dijaga oleh satpam yang terkantuk-kantuk. aku berjalan melewatinya yang tak sadar akan kedatanganku. Frisa Sahara, mahasiswi universitas swasta yang satu tahun belakangan ini kukenal dengan baik sengaja kuhubungi dan kujanjikan ia bertemu di tempat biasa. Pintu kamar 208 tak dikunci. Aku masuk dan menemukannya berdiri menghadap jendela. Dia terkejut memandangku. Namun hal itu tak berlangsung lama, ekspresinya menjadi biasa dan seketika dia mendekat. Dia kalungkan tangannya di leherku, jemarinya yang lentik menjamah rambut-rambut kepalaku yang mengalirkan dahsyatnya cinta satu malam. Wajahnya yang cantik jelita tepat dihadapanku. Rambutnya yang panjang dan hitam menutupi payudaranya yang montok itu kusibak perlahan. Matanya yang binal menatap tajam mataku, bibirku, hidungku dan keseluruhan wajahku. Dia menanggalkan pakaiannya satu per satu, membimbingku meraba keseluruhan tubuhnya. Kurebahkan tubuhnya di tempat tidur. Kukecup bibirnya yang merah merekah. Napasnya memburu, ekpresinya sangatlah ekstrim. Dia telah yakin dirinya akan kusetubuhi. Pantas saja banyak lelaki hidung belang yang memperebutkannya. Kulepaskan tubuhnya yang masih menggeliat menggila. Kuselipkan uang ratusan ribu pada celana dalamnya yang berwarna merah menyala, lalu kutinggalkan ia.
                Peradaban malam menuju pagi. Aku melewati kamar-kamar sewa. Semua sudah terlelap. Kuketuk perlahan kamar Dewi; kekasihku. Wajahnya menyembul dari balik tirai berwarna merah hati dengan senyumnya yang menawan. Kupeluk dan kurengkuh ia seketika. Aku rindu padanya. Namun, seperti halnya berpasang-pasang mata malam itu, dia memandang tubuhku dengan lekat. Namun  matanya yang terbelalak, perlahan melunak. Dia membawaku pada pundaknya yang hangat dan penuh irama kasih sayang. Kukecup mesra bibirnya yang tipis dan kurasakan wangi napas surgawi. Kusetubuhi dia malam ini. Semuanya begitu mesra, mengalir dan menyentuh hingga ia terlelap dipelukanku.
                “Dewi, kita berakhir malam ini” ucapku lirih. Kutinggalkan ia dengan tubuhnya yang terbaring indah berlapiskan kulit mutiara nan putih dan menawan, juga dengan biji-biji permata yang menetes dari matanya yang indah dan sayu kemudian.
                Peradaban malam menuju pagi. Aku terseok diantara rumput-rumput yang menjadi segar karena embun sudah mulai mengecup tubuhnya yang layu. Air mataku meleleh, emosiku memuncak.
                Peradaban malam menuju pagi. Adzan subuh berkumandang. Mesjid-mesjid mulai didatangi para pelayat Tuhan. Aku masih termenung. Mendengarkan gemericik air wudhu dari para boneka-boneka Tuhan. Ya, manusia hanya boneka-boneka Tuhan, dimana setiap keinginannya tidak akan pernah terwujud jika Tuhan tidak mengizinkan.
                Peradaban malam menuju pagi. Kelam malam adalah naungan setiap orang yang jujur pada diri dan hatinya. Naungan setiap insan yang durjana dan yang putus asa. Naungan setiap batin yang sengsara. Naungan setiap jiwa-jiwa yang mengharap kematian. Naungan setiap ruh yang melayang mencari kepastian. Naungan setiap jasad-jasad yang terkapar lemah yang ditinggalkan ruh-ruhnya berkelana. Naungan setiap jeritan hati dan kobaran amarah sang manusia demi membunuh waktu.
                Peradaban malam menuju pagi, perkenalkanlah namaku Arjun, umurku 21 tahun. Aku mahasiswa terbaik di salah satu Institut ternama di negeri ini. Aku cerdas, kritis dan populer. Aku tampan, tubuhku tegap dan kharismatik. Aku atlet beladiri bersabuk hitam. Piala dan medali penghargaan berjejer pada lemari kaca rumahku. Aku pemenang debat politik nasional. Wajahku terpampang pada majalah-majalah ibu kota setiap bulannya. Aku seorang bintang iklan. Aku kebanggaan semua orang, aku juara.
                Peradaban malam menuju pagi, kau tak canggung menerima para manusia menghiasi adanya dirimu. Kini kutambahi kau dengan air mataku agar kelammu lebih berwarna.
                Peradaban malam menuju pagi, aku terseok pada kokohnya tubuhmu. Aku putus asa, sakit, terhempas dan marah. Kakiku buntung tadi pagi, Tuhan membawanya entah kemana.

Gestapuwani
Tasikmalaya, 11 Juni 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gestapuwani

"Doger Ceria"