Tentang Bos!

         “Melia, siapkan berkas-berkas terbaru, lalu hubungi pihak marketing dan sampaikan agar mempercepat follow up semua permintaan konsumen dalam waktu dua hari ini. Besok dan lusa saya minta kamu tetap di kantor,
saya kasih kamu bonus untuk mengganti weekend kamu” kalimatnya begitu lancar keluar dari bibirnya yang menghitam karena hisapan nikotin yang menjadi candunya. Tak bisa kusergah sedikit pun kalimat-kalimat itu karena tubuhnya yang kemudian menghilang dibalik pintu lift yang dengan cepat ditutupnya.
            Kantor sudah sepi, aku masih harus mengerjakan tugas-tugas dadakan dengan separuh hati. Masih terngiang suara adikku di telepon yang mengabarkan hilangnya ibu pasca gempa dan gunung meletus di kampung halamanku. Rumah kami memang tidak rubuh, tidak seberapa pula kerusakannya. Tapi yang kupikirkan adalah kondisi ibuku. Beribu-ribu pertanyaan tak bisa lagi kuhindari berkumpul di sel-sel otakku. Dimana? Bagaimana kondisinya? Masih hidupkah ia? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang membuatku tak kuasa menitikan air mata.
            “Halo pak, maaf saya mengganggu” kataku membuka percakapanku dengan pimpinanku di telepon. Maksudku tentu untuk meminta izin agar dua hari liburku bisa kuambil agar bisa mencari tahu keberadaan dan keadaan ibuku di Yogyakarta sana.
            “Ada apa Mel? Saya sibuk sekali, saya sedang meeting dengan klien, besok saja kabarkan di kantor ya” katanya memutuskan sambungan telepon. Ingin aku mengumpat sejadi-jadinya bahkan ingin aku sumpahi sikapnya padaku. Dia tidak mungkin tidak tahu tentang asalku darimana dan keluargaku berada dimana. Aku ini sekretaris pribadinya, yang jelas mengurus penjadwalan pekerjaannya setiap saat. Aku sosok terdekatnya di kantor. Bencana ini dianggapnya sebagai oase dari marketing yang seminggu lalu menurun drastis karena kesalahan salah satu karyawannya. Dan aku korban perasaan.
            Langkahku gontai, jam sembilan malam baru bisa meninggalkan kantor dengan susah payah. Berkali-kali aku menghubungi adikku, selalu saja tidak aktif. Kekhawatiranku terus meningkat, rasanya aku ingin pergi secepatnya menuju kampung halamanku dan menemui ibu dan adikku lalu membawa mereka ke Jakarta. Namun izin dari bos-ku saja tak bisa aku minta, kalau aku tidak menurutinya itu artinya aku kehilangan pekerjaanku dan tak bisa lagi menghidupi keluargaku. Dilematis.
            “Mbak, ibu tertimpa reruntuhan di rumah Bukde Tresno, kepalanya terluka dan tangannya terkilir. Ibu nangis terus, katanya mbak harus pulang secepatnya karena Bukde Tresno meninggal” kata adikku jam dua dini hari saat aku berhasil menghubunginya. Ibu di pengungsian, bersama dengan kolega-koleganya. Bukde Tresno adalah salah satu koleganya yang terdekat, terbayang kesedihan ibu karena harus kehilangan sahabat terdekatnya. Tapi hatiku sedikit tenang karena Ibuku masih hidup meskipun keadaannya tidak sebaik yang kuharapkan. Namun keinginannya agar aku pulang, tentu tak bisa kupenuhi. Aku bingung, resah dan kesal tentunya.
            Pagi-pagi sekali bos-ku sudah menghubungiku, dimintanya aku agar segera ke kantor. Padahal waktu baru menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Aku bekerja di perusahaan mie instan ternama sebagai sekretaris pribadi, jadi pekerjaanku tidak menentu dalam pembagian waktu kerja secara pasti. Dalam perjanjian kontrak yang aku tanda tangani memang seharusnya aku bekerja dari pukul sembilan pagi sampai pukul empat sore hari. Tapi bagi perusahaan tempatku bekerja ini, jika ada bencana atau hal-hal yang melibatkan turunnya bantuan sosial maka keuntungan perusahaan menjadi berlipat-lipat dari biasanya. Banyak pihak yang kemudian menghubungi kantor pusat secara langsung untuk kemudahan distribusi agar sampai sebelum bantuan yang lain datang. Keutamaan pangan saat bencana memang krusial, maka dari itu bos-ku sekalipun akan terlihat sibuk dengan segudang berkas-berkas rujukan dari para kepala divisi entah itu bagian marketing, gudang bahkan laporan pengurus pabrik yang menambah jumlah pekerja pada jadwal lembur. Rumit memang meninggalkan pekerjaanku saat-saat seperti ini.
            “Melia, cepat sedikit. Aku butuh berkas-berkas yang kuminta kemarin sore. Bukankah sudah kubilang, simpan di mejaku” kantor yang masih sangat sepi pun harus memantulkan suaranya yang menggema. Bentakannya membuatku mati gaya untuk meminta izin kembali ke Yogya. Sementara bos-ku pun terlihat kelabakan dengan telepon-telepon klien dadakan yang memintanya secara langsung tanpa perantara aku sebagaimana biasanya.
            “Jam sembilan nanti aku akan mengikuti acara televisi untuk acara amal yang mereka adakan. Aku dimintanya hadir. Ini sebuah keharusan sebagai penunjang citra perusahaan. Aku minta kamu jangan meninggalkan kantor meski pada jam makan siang, delivery saja makan siangmu agar optimal kerjamu hari ini” dia terus mengoceh dengan tangan yang sibuk membubuhkan tanda tangan pada lembaran-lembaran kertas berisi data-data peningkatan produksi juga dengan jadwal-jadwal pertemuannya dengan klien. Aku mengangguk pasrah.
            Tepat satu jam sebelum acara yang dibicarakannya, dia berangkat dengan supir pribadinya yang setia. Sedangkan aku masih berkutat dengan telepon-telepon dari klien-klien bos-ku juga dari para divisi untuk penyerahan laporan dengan hati yang tak tenang dan pikiran yang kacau.
            Keuntungan produksi akan mencapai angka lima puluh persen lebih tinggi dari biasanya. Ini merupakan prestasi bagi perusahaan. Itu artinya bonus-bonus para karyawan pun naik jauh lebih besar dari biasanya. Tapi apa artinya bonus yang besar sementara ibuku membutuhkan kehadiranku, bukan uangku.
             Sekembalinya bos-ku dari acara amal yang dihadirinya, meeting dadakan segera diadakan. Pemberitahuan prestasi peningkatan produksi disambut ramai oleh sebagian kalangan. Bagi mereka bencana ini memberi berkah tersendiri, apalagi dari segi finansial yang bisa membiayai liburan keluarga setelah bersusah payah saat-saat ini. Sedangkan bagiku, di sela-sela meeting itu bos-ku sengaja mengikatku lebih dengan pekerjaan-pekerjaan baru yang kurasa terlalu diada-adakan. Aku tahu, itu artinya dia tidak membiarkanku kembali ke kampung halamanku. Sikapnya terlalu kentara untuk menyiratkan bahwa aku adalah salah satu aset yang berharga demi keuntungannya yang aji mumpung ini. Hatiku miris.
            “Ibumu baik-baik saja kan Mel?” itu kali pertama bos-ku menanyakan keadaan keluargaku pasca bencana yang terjadi, ketika aku dipanggil ke ruangannya. Kuberitahukan keadaan ibuku dan juga adikku berharap dapat mengantongi izin barang sehari untuk melihat keadaan mereka.
            “Syukurlah kalau keadaan mereka baik-baik saja Mel. Lanjutkan pekerjaanmu, follow up klien dari Bandung dan Padang untuk pengiriman dalam jumlah yang besar. Bonus lemburmu akan kunaikan dua kali lipat, untuk ibumu dan adikmu” katanya mencoba bijak, disertai senyum tanda simpati yang terlalu dipaksakan. Andai dia tahu bahwa uang tidak bisa mengganti kesedihan dan kepedihan yang melanda ibu dan adikku.
            Sampai penghujung hari Minggu pun aku tetap tidak bisa beranjak dari Jakarta. Telepon dari ibuku membuat rasa dilema ini semakin menjadi-jadi. Sedangkan setiap pembicaraanku dengan bos tentang izin yang ingin kuminta, selalu dialihkannya ke arah pekerjaan-pekerjaanku yang harus kuselesaikan dengan cepat. Lima hari pasca bencana itu, aku hampir tidak bisa tidur walaupun lelahnya tubuhku karena pekerjaan yang tiba-tiba menumpuk. Apa bos-ku merasakan hal yang sama denganku?
***
            Hari senin yang berjalan lebih cepat dari biasanya. Kepala divisi gudang menelepon pagi-pagi sekali dengan suara panik agar aku segera menuju kantor. Satu lagi kebingungan di hari kerja yang melelahkan, pekerjaan yang tidak henti datang tanpa memberi kesempatan untuk menghela napas barang sedetik pun.
            Aku bergegas menuju kantor dengan sedikit rasa malas. Kepala divisi gudang berkali-kali menelepon namun tidak kujawab. Tidak biasanya pula jalan menuju kantor macet seperti ini.
            “Tumben kok macet ya pak?” tanyaku pada supir taksi yang memijat-mijat kepalanya tanda kesal menunggu.
            “Ada kebakaran mbak!” sahutnya malas karena waktu berburu penumpang menjadi berkurang. Aku tidak begitu peduli dengan kebakaran yang dibicarakannya. Kugunakan waktu macet itu untuk memejamkan mataku barang sejenak. Tapi kepala divisi gudang meneleponku untuk kesekian kalinya. Aku putuskan untuk berjalan kaki menuju kantor karena jaraknya sudah lumayan dekat.
            Asap hitam mengepul tinggi, kulihat semakin dekat asap itu berasal dari area kantor atau mungkin kantor tetangga. Kepala divisi muncul tiba-tiba di trotoar tempatku berjalan, wajahnya merah padam dengan keringat mengucur deras. Dia menarik tanganku yang membuatku berlari mendekati area kantor yang penuh sesak dengan orang-orang dan juga mobil pemadam kebakaran.
            Asap itu berasal dari kantorku, kulihat api berkobar di area gudang. Pemadam kebakaran pun dikerahkan untuk memadamkannya namun apinya terlalu besar ditambah angin yang sedang kencang pagi ini. Kulihat mobil bos-ku mengnerobos masuk area yang dipenuhi khalayak yang ramai menolong juga hanya menonton. Bos-ku keluar dari mobil dengan mata terbelalak dan wajah yang pucat. Sesaat kemudian dia rubuh tak sadarkan diri. Tanpa kusadari bibirku tersenyum sinis.
***
Gestapuwani
Garut, 07 April 2011
22:42

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gestapuwani

"Doger Ceria"