Bisik Kebohongan Sepasang Mata


Dalam Bis
Langit di kaca jendela bergoyang
Terarah ke mana wajah di kaca jendela
Yang dahulu juga
Mengecil dalam pesona


Sebermula adalah kata
Baru perjalanan dari kota ke kota
Demikian cepat
Kita pun terperanjat
Waktu henti ia tiada…
Sapardi Djoko Damono
Lima belas tahun berlalu, aku masih menyimpan memori tentangnya. Perdebatan-perdebatan yang menguatkan rasa gila hingga harus berkali-kali ingin mengakhiri kebohonganku. Tapi akhirnya semua itu berjalan sesuai rencana, aku dan dia tetap menjadi sosok pembohong. Hingga kini.
***
            Dia jatuhkan tatapan matanya ketika sinar mataku tertuju padanya. Tingkahnya kikuk seketika. Geli memang, tapi membingungkan. Tubuh kurus dan wajah yang tirus telah lama kunikmati secara diam-diam itu selalu membayangiku. Aku tak pernah berharap dan merasakan sesuatu yang berbeda sedikitpun darinya. Yang aku tahu hanyalah beratnya rasa kagumku padanya dan kencangnya debar jantungku bila ada dia di sekitarku.
            Tatapannya dalam pada kalimat-kalimat yang menggumpal pada syaraf-syaraf yang terhubung dari mata hingga ke otaknya. Terlihat jelas seretan matanya ketika menyapu kalimat baris demi baris secara serius. Jiwanya sedang bercumbu manis dengan ilmu yang digilainya sejak lama. Akan kuakui bahwa aku mulai mencintainya.
            Dia sematkan aku diantara mata-mata yang sedang menerawang kedalaman sebuah buku. Mata itu diam-diam tertuju kepadaku dan kemudian jatuh kembali ketika mataku membidik indra penglihatannya. Aku tertawa menang.
***
            “Pagi Num, aku mau pinjam buku filsafat yang kamu perdebatkan kemarin sore. Aku rasa ada yang salah dengan statement kamu. Aku mau membandingkannya dengan buku lain, aku rasa kamu memperbolehkannya. Benar kan?” Kata-katanya terdengar angkuh, namun membiusku seketika. Ini racun bagiku.
            “Oh, aku rasa kamu bisa  mendapatkan buku itu di perpustakaan, cari saja. Buku itu sedang kubandingkan dengan buku pandangan filsafat dalam agama. Jadi mungkin kamu bisa mencari topik lain di diskusi selanjutnya. Oke!” Aku tersenyum penuh arti di hadapannya dan pergi dengan segera. Aku rasa kata-kata itu cukup menjatuhkannya.
            Sudah dua tahun aku dan Bima terlibat dalam perang dingin. Perang yang segera ingin aku hentikan, namun sebuah kata “terlanjur” mengabdi dalam darah kami berdua sehingga aku dan bima akan tetap pada keadaan seperti sekarang, selamanya.
            “Ranum, tunggu!” Bima mengejarku dan menarik tanganku sampai ke halte bis di depan kampus. Waktu terasa cepat, aku tak merasakan apapun selain genggamannya yang bermakna lain bagiku. Aku pun tak sadar, kami berdua menaiki bis yang tak kuketahui kemana jurusannya.
            “Ada apa sih Bim, kita mau kemana?” Tanyaku memastikan. Dia tidak menjawab dan tetap menggenggam tanganku. Aku bingung namun pasrah.
            Gelisah menghampiri diriku, sedang Bima duduk tenang disampingku. Tangannya masih menggenggam tanganku, namun pandangannya terlempar keluar jendela. Saat itu seorang seniman jalanan dengan merdunya membawakan sebuah musikalisasi puisi yang lekat sekali dengan pendengaranku. Bima mengalihkan pandangannnya padaku, ada sesuatu yang harus kubaca dari matanya. Ya, aku tahu.
            Perjalanan ini berakhir di sebuah taman yang kecil dan sepi, gelisah dan kebingungan masih menghinggapiku. Namun aku lebih memilih diam dan bungkam ketimbang menanyakan apa yang akan terjadi.
            “Aku ingin menjelaskan dan menegaskan sesuatu” Bima melepaskan genggamannya dan menjauh dari diriku.
            “Ya, silahkan” aku menantangnya.
            “Bisakah kita kembali pada diri kita yang sebenarnya saat ini? Karena ini bukan forum resmi” Bima membidik mataku cepat. Kuangkat bahu dan tanganku tanda ‘terserah’. Dia menjawabnya dengan anggukan.
            “Sejak aku tahu ada seorang perempuan yang sangat istimewa, aku merasa ada musuh yang harus aku taklukan” Kata-katanya terhenti, aku menunggu.
“Aku menaklukan hatiku yang munafik untuk bisa berbicara seperti ini di depan kamu” Bima  menatapku dalam, aku rasakan sesuatu yang lain darinya. Aku diam beberapa saat, mondar-mandir tak menentu.
            “Bagaimana bisa aku pun menolak perasaanku sejak awal. Itu adalah pekerjaan berat untukku, membagi hatiku dengan sebuah cermin” jawabku akhirnya. Bima tersenyum.
            “Tapi kita berada dalam sebuah keterlanjuran, bagaimana menurutmu” dia membelakangiku.
            “Aku berpikiran sama, ketika kita satu pemikiran, maka aku dan pemikiranku akan tumpul bahkan mati. Aku rasa hal itu pun akan berlaku padamu”
“Ya, tapi bukankah saat ini pikiran kita sama?”
“Ya, dan itu tidak baik!”
“Untuk siapa?”
“Untukku dan untukmu”
“Jadi?”
“Peluk aku dan kembali pada kemunafikanmu” Bima mengerutkan dahinya, namun segera dia tersenyum dan menghampiriku.
“Sambut aku dan kembali pada muka duamu” kami tertawa bersama, Bima mendekapku erat, memberi sebuah rasa yang akan terpendam dan kemunafikan yang akan kekal.
“Ingat aku, ingat puisi itu” bisiknya.
***
Gestapuwani
Bogor, Maret 2010
Diterbitkan oleh “Kredo” minizine sastra

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gestapuwani

"Doger Ceria"