PELIT!


            "Kamu tuh pelit banget sih!" aku membentak setengah berteriak padanya. Nadaku mengandung kemarahan, memang aku tersinggung, kecewa dan sedikit marah padanya. Dia salah satu orang yang tidak tahu cara beramal. Dia pelit.
            Wajahnya masih tenang walaupun emosiku sudah meledak-ledak. Ini  sekian kalinya dia berlaku kikir di hadapanku. Memalukan.
            "Aku mau sendiri, jangan temui aku sampai sifat pelit kamu berubah!" aku meninggalkannya di depan pintu pagar rumahku yang aku kunci dengan segera. Dia terlihat kecewa karena kelakuanku. Aku lebih kecewa, karena ternyata pacarku bukan seorang yang dermawan.
            Aku mengurung diri di kamar karena mood-ku yang rusak akibat kejadian tadi siang. Apa artinya dengan nilai uang sekecil itu untuk seorang anak milyarder muda seperti dia, keterlaluan!.
            Dia berulang kali meneleponku, tapi tak kujawab karena aku masih sebal dengan tingkahnya yang arogan itu. Aku memang tak se-kaya dia, tapi aku masih punya hati nurani. Sungguh menyebalkan.
***
            "Kringg…kringg…" bunyi itu sudah lama kukenal, sejak pertemuan pertama aku dengannya. Sepeda sport yang tergolong tua dengan bel seperti pada sepeda kumbang itu sudah menjadi sahabatnya sejak ia masih duduk di bangku SMP. Sampai saat ini, sepeda itu yang terus menemaninya. Itulah perasaan kagum pertama yang membangunkan kata-kata pada lidahku untuk berkata 'ya' ketika dia mengungkapkan perasaannya padaku. Setelah lama dari hubungan kami, baru aku ketahui bahwa dia adalah seorang anak pengusaha minyak yang sudah terkenal sejak aku belum dilahirkan. Merasa beruntung memang, tapi lebih beruntung lagi karena dia selalu bisa berlaku sederhana dan fungsional.
            "Aku mau jalan kaki saja, kamu pergi saja sendiri" kata-kataku masih ketus. Aku masih kesal terhadapnya.
            "Suatu hari kamu akan mengerti kenapa aku melakukan itu" dia tersenyum padaku dan mengayuh sepedanya cepat hingga kusadari dia sudah hilang dari pandangku. Aku tambah kesal.
            Memangnya apa yang ada di pikirannya? meninggalkanku sepagi ini sendiri, sampai harus jalan kaki ke kampus. Sepertinya aku putus saja.
            Satu lagi kekesalan bertambah, padahal hari ini aku ingin mood-ku terjaga dengan stabil.
***
            Sore ini acara penggalangan dana di kampus berlangsung dengan baik, dana sudah mencapai angka yang kami perkirakan. Sebagian dana akan kami serahkan pada korban bencana alam dan sebagian lagi akan kami salurkan kepada panti asuhan dan panti jompo.
            Aku sebagai ketua pelaksana yang ditunjuk untuk acara amal ini merasa puas karena akhirnya aku dapat menyalurkan sedikit dari harta orang-orang yang mampu untuk orang-orang yang membutuhkan. Dan ini juga sebagai satu bentuk sindiran untuk pacarku; Rama.
            "Gimana Nin acaranya?" suara itu tak asing lagi. Tentu saja, tak lain itu suara Rama.
            "Sukses!!! Banyak orang yang senang beramal, nominalnya besar, lebih dari seribu rupiah!" jawabku ketus dan menyindir.
            "Oh, bagus dong. Aku jadi ikut senang. Aku bangga punya pacar sepertimu" jawabnya polos seperti tidak pernah terjadi satu peristiwa apapun sebelumnya.
            "Tentu saja kamu bangga, tapi sayangnya aku tidak bangga punya pacar pelit sepertimu!" kesalku bertambah. Aku meninggalkannya yang sedang menikmati alunan biola dari salah satu teman kami yang turut berpartisipasi dalam acara ini. Dia hanya tersenyum dan kembali menikmati alunan merdu sang violis.
            Setelah acara selesai, Rama terus saja membuntutiku. Aku risih dibuatnya, terlebih karena aku masih marah padanya. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk menemuiku setelah kemarahanku reda. Itu ide yang bagus.
***
            "Rama!!!" aku berteriak memanggilnya, bentuk tubuh dan topi itu sudah cukup jelas menggambarkan seorang Rama dari belakang. Aku sedikit kaget dengan adanya dia di tempat ini.  Secepatnya dia menoleh ke arahku.
            "Nin..Nindi, sedang apa kamu disini?" dia sedikit berlari mendekatiku. Gerak tubuhnya sedikit kikuk melihatku ada di hadapannya.
            "Aku yang harusnya menyampaikan pertanyaan itu sama kamu" aku masih bingung dan tentu saja terkejut.
            "Ayo…" dia menarik lenganku menuju sebuah taman untuk menjauh dari suasana ruangan yang riuh dengan suara musik beradu dengan tepukan tangan serta suara dari anak-anak berusia sepuluh tahun.
            "Kamu kok ada disini Nin?" ucapnya ragu.
            "Aku kesini mau menyalurkan dana dari acara penggalangan dana kemarin. Kamu sendiri sedang apa bergabung sama anak-anak rumah singgah seperti ini. Aku rasa ini bukan pribadimu yang senang bergaul dengan anak-anak jalanan seperti itu" jawabku. Aku merasa curiga, sepertinya ada yang dia sembunyikan dariku.
            "Mmmmhhh, aku…." dia enggan untuk menjawab.
            "Kak Rama…" suara itu membuatnya terhentak dan kemudian menujukan tatapannya pada seorang anak perempuan berusia lima tahun. Aku semakin bingung.
            "Dia adikku Nin, yang tadi di ruangan itu juga semua adikku" jawaban yang semakin membuatku bingung.
            "Jadi selama ini kamu bohong sama aku?" pikiranku berubah menjadi sangat keruh seketika.
            "Bukan itu Nin, biar aku jelaskan" sergahnya.
            "Ayo duduk dan dengarkan penjelasanku" dia mendorong lembut bahuku untuk sedikit menenangkan aku dengan mempersilahkanku duduk pada kursi taman yang ada di hadapku.
            "Jadi selama ini kamu anak jalanan yang mengaku anak seorang milyarder?" tuduhku padanya.
            "Nin…"
            "Sudahlah Ram, sepertinya aku selalu salah menilaimu. Sudah satu kekecewaanku kemarin karena kamu tak suka berbagi dengan orang lain. Sekarang bertambah lagi dengan kebohonganmu"
            "Nin…"
            "Ram, sejujurnya aku tak ingin kecewa. Tapi caramu yang membuat aku kecewa" aku hampir menangis. Kesal bertambah kesal. Sebal bertambah sebal.
            "Terserah Nin apa katamu tapi semua pikiranmu salah Nin. Kamu tahu apa alasan aku tentang uang seribu yang selalu kamu permasalahkan?" Aku menggeleng. Sebenarnya aku ingin secepatnya pergi meninggalkan semua penjelasan Rama, tapi tangannya menahanku.
            "Aku hanya ingin mereka yang sering kamu beri uang seribu itu menjadi pribadi yang tangguh, mencari sesuatu yang akan mereka makan bukan dengan cara seperti itu. Kamu dulu pernah membuat artikel tentang bagaimana hina menjadi seorang pengemis, tapi kamu menghalalkan cara mereka dengan uang seribu-mu itu Nin. Dulu aku pun sepertimu, sama menghalalkannya. Namun aku tergugah dengan tulisanmu itu dan aku berpikir ulang tentang berapa ratus ribu aku memberi jalan pada mereka untuk mengemis" tak kusangka Rama seperti ini. Ini satir. Terlalu sakit memukulku untuk tersadar dari tingkahku.
            "Rumah ini adalah rumah oma yang diwariskannya padaku. Sejak lama aku memimpikan ini bisa jadi tempat tinggal kita suatu hari nanti Nin, tapi mereka yang di dalam sana tidak punya apa yang aku miliki, kenyamanan, ketenangan, media untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Aku berpikir, kamu akan berpikiran sama sepertiku dan mengijinkanku melepas rumah untuk kita ini kepada mereka. Tapi belum tepat kuceritakan kamu sudah datang kemari. Aku serahkan semua keputusan padamu" aku mengangguk, aku terharu. Hatiku berdesir hebat, seorang Rama yang kupikir telah mengecewakanku ternyata membuatku sangat bangga saat ini. kusandarkan kepalaku pada bahunya. Betapa malunya aku dengan ulahku yang main hakim sendiri. Benar apa yang dikatakan pengarang buku favoritku bahwa 'Jangan ikut-ikut jadi hakim tentang sesuatu yang kau tak ketahui dengan pasti'.
            "Aku malu padamu Ram, maafkan aku. Aku bangga padamu" kataku dalam isakku. Dia tersenyum kecil, tangannya mengelus punggungku lembut.
***
Gestapuwani
Bogor, Desember 2009
"Untuk sahabatku yang pernah duduk disampingku di depan lalu lintas itu. Terima kasih telah membuatku mengerti"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gestapuwani

"Doger Ceria"