Lilin dan Api


                “Samid” jawabku pasti pada sahabatku Anan.
            “Samid?” nada pertanyaan itu menyiratkan ketidakpercayaan dan terkejut luar biasa. Pandangan matanya berbinar, sudut bibirnya tertarik sampai ke ujung seperti menyimpan rencana picik padaku.
            “Terserahlah, kalau lu mau memperjuangkan perasaan lu sama dia, bilang aja. Tapi kalau lu bersikukuh tetep main rahasia-rahasiaan, berarti lu harus berlapang dada kalau suatu hari nanti lu shock liat dia bareng sama cewek lain” dia menyerangku dengan pilihan itu, aku tahu kemana arah dan tujuan perkataannya itu. Aku tetap membisu.
            Setiap orang pasti pernah merasakan indahnya jatuh cinta. Ketika pandangan mata tak ingin luput dari dirinya, ketika jantung berdegup kencang, ketika keringat dingin merembes dari telapak tangan, ketika dunia menjadi penuh dengan bayangan dan imajinasi tentangnya, juga ketika berharap suatu hari dapat memilikinya. Begitu pula aku, satu dari jutaan insan yang merasakan hal yang serupa, namun tak sama. Ya, tak sama. Mengapa harus Samid? Itu yang setiap kali kutanyakan dan kusesalkan.
            “Nanti malem jangan kecewain gue, datang ke kampus, kita weekend bareng-bareng ok!” kalimat itu terucap disertai tepukan tangannya di pundakku. Seperti biasanya, setiap malam minggu, teman-teman kampusku selalu membuat acara weekend bersama. Entah itu acara musik, diskusi, atau sekedar kongkow-kongkow di depan fakultas. Aku mengangguk dan tersenyum pilu kearahnya yang bergegas pergi meninggalkanku. Bagiku, permintaannya seperti buah simalakama. Karena semakin sering aku bertemu dengan Samid, aku semakin tidak ingin melepaskan pandanganku dan perasaanku yang semakin mendalam. Tapi aku juga belum sanggup menghindar darinya, semakin lama akan semakin aneh dan menyesakkan.
            Sudah seminggu ini aku menghindar dari Samid. Tingkahku selalu terlihat bodoh jika bersamanya akhir-akhir ini. Kadang selalu ingin perhatian, berdandan untuk bertemu dengannya, jaim, dan banyak hal lainnya yang justru bertolak belakang dengan sikapku yang sebenarnya. Jatuh cinta membuat orang kehilangan logikanya. Sampai akhirnya aku menyadari kekonyolanku dan memutuskan untuk menyendiri demi menetralisir perasaanku. Namun ini tidak begitu berhasil, efeknya aku malah jadi sering menangis dan mengutuk diriku sendiri. Jadi, aku telepon Anan dan memintanya untuk datang ke rumahku. Tapi, aku juga tidak menemukan penyelesaian darinya, malah kebingungan semakin menjadi-jadi dalam otakku.
             Tersisa 2 jam 35 menit menuju malam simalakama. Anan sudah dua kali mengirim pesan dengan teks yang sama: ‘jangan mengira cinta datang dari keakraban yang lama dan karena pendekatan yang tekun. Cinta adalah kecocokan hati dan jika itu tidak pernah ada, cinta tak akan pernah ada. Kapan dan berapapun lamanya’. Aku sudah pernah membaca kata-kata bijak itu di toko buku, dia memang maniak Kahlil Gibran. Tapi kata-kata itu tidak cukup ampuh mengatasi kegugupan dan kegelisahanku.
***
            Akhirnya kuputuskan untuk pergi setelah Samid meneleponku dan memintaku untuk datang. Penyakit ‘salting’atau salah tingkah menderaku lagi, berjingkrak-jingkrak, berteriak histeris, dan senang setengah mati. Ah, rasanya sebentar lagi aku gila.
            Hatiku sungguh galau, gugup, dan cemas. Kulangkahkan kakiku melewati gedung-gedung yang masih ramai dengan acara-acara kampus. Dari kejauhan suara gaduh sudah bergema, juga suara Samid dengan lagu reggae favoritnya melintas riang di telingaku. Hatiku berdesir hebat, sudut-sudut bibirku tak bisa kutahan agar tak berkembang. Aku terlalu senang.
            Biji matanya menemukanku sesaat sebelum penampilannya berakhir, aku gugup dibuatnya. Tanpa kusangka dia menghambur ke arahku dan memelukku erat. Aku terperangah terkejut setengah mati. Namun senang tak alang kepalang.
            “Aku kangen banget, kemana aja sih?” suaranya bercampur tawa senang.
            “Ada aja” jawabku gugup dan singkat sembari mendorong tubuhnya perlahan. Dia melepaskan pelukannya, kemudian menatapku dengan tatapan yang ingin kumiliki selamanya. Dia tersenyum menggoda, begitupun aku membalasnya. Dia menarik tanganku menuju tempat duduk favorit kami; di bawah pohon.
            Malam itu terasa panjang dan mengesankan, Samid benar-benar disampingku tanpa beranjak sedetikpun. Dia tetap ramai seperti biasanya, tertawa-tawa, bercanda semaunya dan seperti kebiasaanya tentu memainkan rambutku dengan jemarinya. Perasaanku semakin membuncah, dirangkulnya, digodanya, dikecupnya ubun-ubun kepalaku walau dalam keadaan bercanda. Semuanya berakhir sempurna sampai akhir acara.
            “Jangan pulang dulu San, Anan punya eksperimen baru” Tangan Samid menggenggam tanganku setelah acara benar-benar selesai dan berakhir. Aku sedikit risih dibuatnya karena aku belum pernah se-intim ini sebelumnya.   
“Kamu sakit? Tangan kamu dingin, keringetan lagi!” Samid terlihat sedikit cemas. Aku menggeleng cepat. Samid mengangguk lega. Andai dia tahu kalau itu efek dari genggaman tangannya. Bodoh.
            “Sani, Samid, buruan sini, kita bereksperimen” Anan berteriak memanggil, dengan cepat Samid menuntunku ke tempanya berada dan kami duduk melingkar dengan posisi Samid di hadapanku. Di tangan Anan ada sebuah lilin dalam sebuah gelas. Entahlah ritual apa yang akan kami lakukan saat ini. Dia menyalakan lilin putih itu.
            “Gue meyakini salah satu filosofi cinta ada di lilin ini” Ujarnya.
            “Ah, sok filosofis lu!” Ledek Samid.
            “Eit, jangan salah, cinta itu seperti lilin dan api, mereka mampu berkorban demi terang” ungkapnya dramatis. Tapi ungkapannya justru membuat Samid terbahak. Dari dulu, aku, Samid dan semua orang yang mengenal Anan sepakat bahwa dia adalah filsuf cinta yang phsyco.
            “Konyol lu, buruan deh mau ngapain kita?” Samid menggodanya di sisa-sisa tawanya. Anan adalah sahabat terbaik bagiku dan Samid. Kami sudah bersama hampir tiga tahun. Segala rasa; manis, pahit, asam, hambar dan rasa lainnya sudah kami lalui bersama. Meskipun eksperimennya selalu tampak aneh dan menyengsarakan, tapi dia merupakan wujud ketulusan yang sebenarnya.
            “Oke, gue punya games seru. Ya, iseng-iseng aja” kata Anan dengan senyum kepicikannya. Kemudian dia menjelaskan aturan permainannya. Mungkin yang dia maksud semacam permainan truth or dare. Namun perbedaannya hanya lilin sebagai medianya yang dikelilingkan sambil bernyanyi sesuka hati. Aku menikmati moment ini, walau gundah masih meradang.
            “Nice, nona cantik anda beruntung. Truth or dare?” seru Anan. Sial, lilin itu berhenti di tanganku.
            “Truth” suara Samid langsung menyambar gendang telingaku. Pasrah saja.
            “Oke. Angkat tangan kanan dan bersumpah untuk berkata jujur. Kalau anda berkata bohong, rasakan akibatnya menerima ganjarannya yaitu NASAKOM alias nasib IP satu koma lima” kata-katanya sudah seperti di pengadilan saja, aku menurut.
“Pertanyaan pertama dari gue, kemana aja lu selama seminggu gak ada kabar dan berita, terus ngapain aja?” lanjut Anan. Ah, ini jebakan.
“Gue ada di rumah, menenangkan diri sambil nonton DVD, baca buku, tidur dan mikirin sesuatu yang bisa gue pikirin” jawabku berlaga polos.
“Jawaban anak TK!” timpalnya sambil merengut.
“Sekarang giliran gue, lu bilang menenangkan diri kan? Emang ada masalah apa? Dan kenapa lu menghindar dari gue, lu beda akhir-akhir ini!” kata Samid berapi-api. Matanya menatap tajam ke arahku. Aku seperti ditimpa palu godam. Ternyata dia merasakan perbedaan itu.
“Gue gak apa-apa kok!”
“Bohong, ada yang lu sembunyiin. Inget sumpah tadi” ancamnya. Pandangan kedua lelaki ini mengintimidasiku. Ini tidak adil.
“Oke, gue ngaku. Gue emang menghindar dari lu, karena sebuah alasan” kataku menundukan kepalaku dan menghela napas panjang.
“Alasan apa?” lanjutnya.
“Pertanyaanya kan harusnya cuma satu, kok jadi banyak?” sergahku mengalihkan.
“Jawab aja” Seru Anan. Sial. Lama aku tak menjawab, aku gugup, gusar, perasaanku tak menentu, rasanya aku ingin membenamkan tubuhku di tanah dan terkubur, berharap mati saja. Tiba-tiba Samid menggenggam tanganku, menatap mataku dan mengangguk. Aku paham isyarat itu.
“Ya, gue cerita. Dengerin aja, jangan komentar sampai gue selesai” kataku. Akhirnya. Kuhela napas panjang untuk kesekian kalinya. Aku menundukan kepalaku, membenamkan diri diantara kata-kata yang sedang kurangkai dalam otakku.
“Gue suka, gue sayang elu Mid, tapi dalam konteks yang berbeda” Samid terkejut, dia melepaskan genggaman tangannya.
“Gue tau ini salah tapi gue yakin cinta gak pernah salah. Gue ngerasa, ini gak baik makanya seminggu ini gue menghindar, berharap bisa menetralisir perasaan gue. Entahlah, tapi gue ngerasa persahabatan ini jadi menyesakkan. Gue takut” kataku mengakhirinya dengan suara bergetar. Bulir-bulir panas mulai meleleh dari sudut mataku, Samid tertegun, Anan diam serba salah. Lama kami berdiam diri, beragam rasa bergumul di dadaku.
Samid membentangkan tangannya, tersenyum ke arahku. Dia menawarkan sebuah pelukan. Aku bersitatap dengan Anan, dia mengangguk. Aku menyambut pelukan itu. Erat dia mendekapku. Ada rasa haru yang mengalir deras. Rasa tenang dan nyaman merayap di sekujur tubuh. Dia mengecup kepalaku.
“Jaga persahabatan kita San!” bisik Samid.
Gestapuwani
 Bogor, Agustus 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gestapuwani

"Doger Ceria"