Kumis Mbah Katmo

     “Kalau mbak tidak percaya, ayo kita buktikan bahwa perkataan si Sunim dan anak-anak kampung lainnya itu benar!”
Halini berbicara berapi-api di hadapanku. Dialek Jawanya sangat kental di telinga. Aku berpikir sejenak, memandang matanya yang selalu berbinar kala dia bercerita tentang apa yang didengarnya dari informan-informan yang kadang tidak jelas.
     “Dimana orang itu tinggal?” selidikku. Secepat mungkin bola mata Halini berputar ke kanan tanda mengingat informasi-informasi yang didapatnya.    
     “Di ujung jalan setapak, dekat sawah Pak Haji Makmur” Jawabnya mantap disusul dengan senyumnya yang mengembang ketika kusodorkan sebungkus permen dan tiga buah coklat payung yang selalu kuberikan kepadanya manakala dia memberikan informasi-informasi terbaru di kampung ini.
     Aku bergegas pergi ke tempat yang disebutkan Halini, kutemukan sebuah rumah panggung berwarna coklat terawat dengan halaman yang dipenuhi dengan bunga sedap malam, pohon mangga dan kutemukan pohon kamboja di ujung dekat pagar. Angker.
     “Sedang apa disitu?” Suara serak dan keras itu membahana di gendang telingaku, membuatku tersentak kaget luar biasa. Sesosok kepala laki-laki menyembul dari arah jendela; lelaki tua berjanggut dan berkumis lebat, bermata sayu dan berkulit gelap. Keringat dingin merembes dari seluruh penjuru tubuhku, aku merasa wajahku kini pucat pasi karena darah yang mulai berhenti mengalir. Aku menganggukan kepalaku tanda hormat pada si empunya tempat, lelaki itu kemudian membuka pintu dan berdiri tak jauh di hadapanku. Tubuhku semakin kaku, kulihat tubuhnya yang tinggi besar dengan perut yang buncit tanpa pakaian, nafasku tersekat, aku mundur teratur, tersenyum lalu secepat kilat aku kabur dan menghilang dari pandangannya.
     Nafasku masih tersenggal-senggal, berlari satu kilometer dengan ketakutan dan pikiran-pikiran tak menentu membuat kecepatan lari menjadi lebih lambat. Aku menghempaskan tubuhku yang lunglai diatas dipan depan rumah kontrakanku, merasakan ubun-ubun yang panas dan kerongkongan yang kering. Kupejamkan mataku, terbayang kembali sosok Mbah Katmo dan suaranya yang terngiang hingga membuatku bergidik. Aku berpikir keras, mencoba merangkai fragmen-fragmen isu anak-anak kecil, cerita ibu-ibu dan keresahan warga tentang Mbah Katmo. 
     Menurut ibunya si Sunim dan ibu-ibu lainnya, Mbah Katmo adalah dukun santet berbadan tambun. Jika ada suara kambing mengembik, ayam berkokok dan kuda meringkik pada malam Selasa dan malam Jumat, itu artinya Mbah Katmo sedang memandikan keris dengan kumisnya dan memanggil genderuwo untuk mencari mangsa untuk Mbah Katmo.
     Menurut bapaknya si Sunim dan bapak-bapak lainnya di kampung ini, Mbah Katmo itu adalah manusia jelmaan genderuwo, kumisnya memiliki kekuatan magis yang membahayakan bagi warga-warga kampung dan binatang-binatang ternak. Seringkali binatang-binatang ternak itu hilang dari kandangnya secara mistis dan kemudian warga mendapati beberapa helai kumis di kandang ternak atau di tempat binatang itu hilang. Menurut mereka, kumis itu adalah kumis Mbah Katmo.
     Menurut Halini dan anak-anak kecil lainnya di kampung ini, Mbah Katmo adalah makhluk pemakan anak-anak, suatu pagi Sunim dan tiga anak lainnya mengintip Mbah Katmo dan didapatinya Mbah Katmo sedang memegang boneka bayi dengan kepala yang terputus beserta jarum yang kemudian ditusukannya tepat di dada boneka tersebut. Kemudian Mbah Katmo berteriak lantang dengan bahasanya “sing saha wae nu aya di tukangeun bilik, nu datang teu di ondang, kumis si Mbah Katmo nu boga kawasa sihir nu kejam ditujukeun ka barudak leutik di ieu kampung” menurut Halini, kira-kira artinya “siapapun yang berada dibalik bilik dan datang tanpa di undang, kumis Mbah Katmo mempunyai sihir yang kejam dan sasarannya adalah anak-anak kecil di kampung ini” sejurus kemudian Mbah Katmo tertawa hingga keempat anak itu lari kocar-kacir.
     Cerita ini membingungkan, tidak dapat diartikan dengan bahasa akal biasa. Terlalu banyak isu dan khayalan yang bersatu hingga diriku pun takut mengungkap kebenarannya. Tugasku disini seharusnya hanya memantau perkembangan padi dan membuat laporan untuk skripsiku, namun banyaknya kejadian di kampung ini menarik hatiku untuk ikut memecahkan misteri, sulit rasanya menahan diri untuk menjadi orang yang selalu ingin tahu. Kupejamkan mataku dan aku terlelap.
***
     “Mbak’e bangun, di balai desa sedang terjadi keributan. Mbah Katmo berhasil ditangkap warga!” Pagi-pagi sekali Halini, anak kelas empat SD itu membawa berita mengejutkan. Kepalaku terasa pening akibat dibangunkan dengan huru-hara.
     “Mbah Katmo ada disana?” Kataku sembari menggaruk kepalaku yang tidak gatal, kemudian berjalan bolak-balik dengan perasaan tak menentu setelah dibenarkan dengan anggukan Halini. Jujur saja, kepalaku masih pening, bumi sepetri berputar lima kali lebih cepat dari biasanya.
     “Tadi subuh ada warga yang kehilangan ternak lagi Mbak, para warga berbondong-bondong menuju rumah Mbah Katmo dan menggusurnya sampai ke balai desa” katanya berapi-api.
     “Baiklah, ayo kita kesana” kataku sambil menarik tangan Halini, namun dia tidak beranjak. Matanya menyiratkan ketakutan, aku menariknya lagi dan dia pasrah.
     Kami berlari secepat mungkin dan sampai ke balai desa dengan nafas tersenggal-senggal. Disela-sela deruan nafasku, kulihat Mbah Katmo menggeram, mengaduh dan berusaha melepaskan diri dari ikatan tali di tubuhnya. Matanya yang sayu menyiratkan permohonan yang dalam agar segera dilepaskan.
            Bapak kepala desa baru saja datang sesaat setelahku, nafasnya pun sama masih tersenggal-senggal karena langkah seribu yang diambilnya ketika salah satu warganya memberitahukan kabar digusurnya Mbah Katmo. Beliau bergidik maju mundur menghadapi Mbah Katmo yang tentunduk lesu dengan suara paraunya seakan dia adalah makhluk yang paling mengerikan.
     “Aku ini manusia, aku tidak pernah mencuri ternak” tanpa disangka Mbah Katmo berteriak pada kami warga-warga yang sedang mengerumuninya. Aku tersentak seketika, otakku tak berhenti berpikir tentang siapa dia sesungguhnya dan bagaimana bisa memecahkan misteri ini.
     “Apa buktinya kau ini manusia?” tanya kepala desa dengan tingkah takutnya.
     “Kakiku masih menapak bumi” kata Mbah Katmo. Aku rasa jawabannya lucu namun cukup logis.
     “Pak, lepaskan saja Mbah Katmo. Saya akan membantu bapak menyelesaikan masalah ini” kataku tanpa sadar. Sungguh aku tidak tega melihat seorang manusia yang diperlakukan dengan kasar. Bapak kepala desa yang sedikit ragu pun mempersilahkanku untuk mengurusnya di balai desa. Memang semenjak kedatanganku ke kampung ini untuk penelitian skripsiku, aku sering diandalkan dalam banyak hal karena aku dianggap salah satu orang yang berpendidikan tinggi.
     Kubawa Mbah Katmo yang terpincang-pincang karena dikeroyok warga ke dalam balai desa. Dengan keberanian yang kukumpulkan aku berhasil duduk di sebelahnya dan membantunya mengobati luka-luka yang dideritanya meskipun masih ada pertanyaan antara genderuwo atau manusiakah ia?
     “Mbah ini manusia nduk” katanya membuka percakapan diantara kami yang sedari tadi kaku karena masih adanya rasa ketakutanku.
     “Kok Mbah berkata seperti itu?” kataku terbata. Dia terdiam lama sekali, seperti sedang berpikir bagaimana menjelaskan duduk perkaranya.
     “Akan Mbah ceritakan...” akhirnya dia bersuara. Dia menghela napas panjang lalu matanya tertunduk menyapu lantai. Bola matanya berputar-putar mencari titik dimana dia berusaha mengingat. Sementara warga-warga yang lain masih gaduh di luar balai desa sambil sesekali melongokan kepalanya ke jendela untuk mengintip pembicaraan kami berdua.
     “Mbah pindah kesini untuk mencari ketenangan. Dalam tiga bulan ini Mbah sedih sekali. Anak Mbah satu-satunya juga cucu Mbah meninggal ketika Mbah sedang membeli mainan untuk cucu Mbah ke kota. Menurut warga kampung cucu Mbah jatuh ke sumur, lalu anak Mbah yang mencoba menyelamatkannya pun malah ikut tenggelam. Saat Mbah pulang, jasad mereka sudah terbujur kaku di ruang tengah rumah Mbah. Sakit hatiku ini nduk, saat-saat senjaku aku harus kehilangan orang-orang yang kusayangi” Mbah Katmo menitikan air mata, dia terisak. Tak kuasa aku mendengar cerita tragis anak dan cucunya itu. Jadi itu sebabnya dia selalu menyendiri, dia tenggelam dalam kesedihannya yang tiada tara.
     “Istri Mbah dimana?” tanyaku sambil mengeluskan tanganku ke lengannya.
     “Dia sudah meninggalkan Mbah sejak melahirkan anak Mbah itu. Dukun beranaknya terlambat mengeluarkan plasenta dari rahimnya, seketika dia meninggal” aku tertegun mendengar satu demi satu cerita pahitnya, ditambah lagi keadaannya sekarang yang menjadi gunjingan warga yang tidak tahu menahu tentang penderitaan panjang Mbah Katmo.
     “Lalu tentang cerita si Sunim dan tentang ternak itu bagaimana?”
     “Mbah kesal pada anak-anak yang selalu mengintip Mbah, maka Mbah menakutinya agar tidak lagi mengganggu Mbah. Kalau masalah ternak Mbah tidak tahu apa-apa, keluar rumah pun Mbah hanya untuk membeli sayur dan beberapa daging” jawabnya dengan penuh kesungguhan.
     Waktu sudah hampir siang, aku membawa Mbah Katmo untuk kembali ke rumahnya diantar Halini. Kemudian kujelaskan duduk perkaranya kepada kepala desa agar segera menyelesaikan kesalah pahaman warga-warganya terhadap Mbah Katmo.
     “Kalau bukan Mbah Katmo pelakunya, lalu siapa?”  pertanyaan itu sudah mengisi otakku sedari aku berbicara dengan Mbah Katmo tadi pagi.
     “Yang kehilangan ternak siapa ya pak?” tanyaku.
     “Bapaknya si Sunim” jawabnya sambil mengerutkan dahi.
     Sore harinya aku menemui Mbah Katmo di rumahnya. Kami banyak mengobrol, terutama tentang kesedihannya dan sedikit membahas ternak-ternak yang hilang itu. Tapi keterangan tentang siapa pelakunya tidak aku dapatkan barang sedikit pun.
     Esok harinya aku mengajak Mbah Katmo pergi bermain dengan anak-anak yang sedang libur sekolah untuk kemudian membuat layang-layang hias di pendopo balai desa. Sesaat kemudian seorang juragan ternak membawa seekor kambing di belakang mobil pick-upnya datang dari pasar pagi memanggil si Sunim untuk mencari ayah dan ibunya. Lalu bapak dan ibu si Sunim tergopoh-gopoh datang dengan wajah pucat dan kaku. Aku memerhatikannya dari jauh, juragan ternak itu menurunkan kambing yang mengembik karena ditarik tali pancangnya dan menyerahkannya kepada bapak si Sunim. Dengan gaya memohon-mohon bapak dan ibu si Sunim mengembalikan kambingnya kembali kepada si juragan. Sepertinya bukan transaksi jual beli.
     “Saya tidak mau tahu, kembalikan uang kambingnya. Kambing sakit kok di jual” juragan ternak itu membentak bapak si Sunim. Aku, Mbah Katmo, bapak kepala desa dan anak-anak lainnya yang kebetulan dekat dengan posisi mereka berbicara menjadi terheran-heran. Seketika kami menghampiri mereka.
     “Ada apa ini?” seru bapak kepala desa.
     “Warga bapak ini menjual ternak sakit kepada saya pada malam senin kemarin. Saya minta ganti rugi. Padahal biasanya dia menjual ternak yang sehat, kali ini saya ditipunya” jawabnya dengan nada tinggi. Bapak kepala desa mengerutkan dahinya, kami semua terheran-heran dengan pernyataan itu.
     “Menjual? Bukankah ternakmu hilang?” tanyanya kepada bapak si Sunim. Dilihatnya kambing itu dengan teliti. Hanya keluarga Sunim yang mempunyai kambing berwarna putih pucat tanpa corak sedikitpun.
     “Lalu apa maksudnya biasanya mereka menjual ternak sehat?”
     “Iya, setiap malam selasa atau malam kamis dua kali dalam sebulan mereka menjual ternak sehat pada saya” jawabnya datar.
     “Kalian menipu kami semua! Apa maksud kalian berdua? Jadi selama ini kalian biang keladinya?” bentak kepala desa. Warga desa pun berdatangan mendengar kegaduhan yang terjadi.
     “Ampun pak kades, ampun!” seru mereka berdua sambil berlutut di hadapan kami.
     “Mbah Katmo kalian jadikan bulan-bulanan, jelaskan apa maksud kalian? Apa salah Mbah Katmo?”
     “Ampun Pak Kades, kami akui kami salah. Kami yang mencuri ternak-ternak warga selama ini. Awalnya kami tidak melibatkan Mbah Katmo. Tapi pada saat pencurian ketiga, kami berpapasan dengan Mbah Katmo di jalan pada dini hari saat kami pergi ke pasar untuk menjual ternak itu. Kami selalu takut Mbah Katmo melaporkannya kepada warga yang lain maka kami selalu menyimpan beberapa helai kumis palsu di tempat hilangnya ternak itu, apalagi si Sunim bilang mbak Menik datang berkunjung ke rumah Mbah katmo. Kami ketakutan pak, maka kami jual ternak kami yang kebetulan sakit agar warga menyangka Mbah Katmo pelakunya dan kami menghasut warga agar mengusirnya dari kampung ini” jelasnya panjang lebar.
     “Kenapa Mbah tidak pernah bercerita kalau Mbah pernah menemukan mereka?” tanyaku. Warga pun menjadi gaduh karena ikut bertanya-tanya tentang cerita yang masih membingungkan mereka.
     “Saya memang tidak pernah menemukan mereka. Saya menderita rabun ayam, jadi kalau hari sudah mulai gelap pandangan saya kabur dan tidak dapat mengenali siapa pun. Makanya saya selalu membawa tongkat jika saya pergi ke pasar pagi” Mbah Katmo menjelaskan. Kami semua terdiam sedangkan bapak dan ibu si Sunim terkaget-kaget mendengarkan penjelasan Mbah Katmo.
     “Jadi para pencuri ini takut pada kesalahannya sendiri pak kades” seruku sambil tertawa. Bapak kepala desa pun mengangguk dan semua warga pun ikut tertawa.


Gestapuwani
Garut, 08 April 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gestapuwani

"Doger Ceria"