Bogor - Jakarta


            Rasa kantuk menghinggapi kedua kelopak mataku, membuatku setengah diambang kesadaran. Kereta api yang aku tumpangi masih konstan melaju diatas rel yang terbentang jauh. Sementara pemandangan gersang antara Bogor – Jakarta
menghiasi perjalanan rutinku selama dua tahun belakangan. Ya, hampir setiap minggu aku berkunjung ke ibu kota. Sekedar membeli buku, jalan-jalan  atau bertemu dengan kawan-kawan lama. Dan kali ini aku hendak menghadiri acara musik yang digelar sahabat lamaku, sedikit kangen dengan musik akustik dan suaranya yang serak namun merdu setengah mati.
            “Gelang Sepatu gelang, gelang silama-lama…” suara anak berumur empat tahun melewati gendang telingaku, sepertinya dia sedikit cadel.         
“Ya, kak?!” Aku menyambut sebuah panggilan dari telepon genggamku. Kak Hanum memang terbiasa  menelepon ketimbang SMS, lebih jelas katanya.
            “Ibu pulang nanti malam, kamu pulang jam berapa?” suaranya sedikit ditelan suara bising roda kereta yang bergesek.
            “Aku gak pulang malam ini kak, Aldila mau manggung, masak aku gak dateng!”
“Ya, terserah kamu saja lah!” jawabnya seraya menutup pembicaraan. Sejujurnya aku lupa kalau hari ini ibu pulang, aku pun terlanjur menjanjiikan kedatanganku untuk bertemu sahabat kecilku; Aldila.
Bintang kecil di langit yang bilu, amat banyak menghias angkasa…” Suara anak perempuan itu kembali terdengar olehku, aku sudah menyangka dia duduk tepat di sebelahku. Kulihat sekilas, dia seorang anak perempuan yang manis, berambut panjang, berkulit sedikit gelap namun terlihat sangat ayu seperti namaku, Ayu. Anak itu berpenampilan sedikit princess, dengan dress berwarna baby pink yang membuatnya sangat girly. Wajahnya datar dan sangat menikmati perjalanannya, dengan kaki yang bersila pada bangku kereta api. Berbeda denganku yang selalu ingin terlihat casual.
“Astaga, aku lupa!” aku hampir berteriak mengucapkannya, sampai mengalihkan perhatian anak perempuan itu padaku, aku hanya tersenyum malu. Segera saja kucari nomor kak Hanum dan menghubunginya.
“Kak, aku boleh minta tolong gak?” ucapku melalui telepon selulerku dengan sedikit khawatir.
“Ada apa sih dek?” Kak Hanum sedikit terganggu, mungkin dia sedang tak ingin diganggu.
“Sepatuku yang kurendam ada di kamar mandi, tolong diamanin dong kak!”
“Lho bukannya kakak sudah nyuruh kamu cuci kan? Jadi belum dicuci juga?” nadanya sedikit meninggi.
“Belum…” kataku pasrah.
“Keterlaluan kamu dek, nanti ibu pulang dan kamu tahu berapa umur sepatu itu di kamar mandi?” Ucapannya tak membuatku tenang, malah aku merasa terganggu. Ya, aku tahu, aku sudah membiarkan sepatu itu dua minggu di kamar mandi. Sejak ibu pergi ke Surabaya sampai hari ini tentunya. Tapi itu karena aku terlalu sibuk di luar rumah dan kadang pulang larut malam. Sedangkan sejak kecil ibu tidak pernah mempekerjakan pembantu untuk mengurusi kebutuhan aku dan kakakku.
“Tolong lah kak! Atau kakak masukin kantong plastik terus buang aja ke bak sampah depan rumah” Rengekku seraya memberikannya sebuah pilihan. 
“Kamu memang sangat keterlaluan dek, main buang aja. Itu kan hadiah dari ibu buat kamu, nanti gimana kalau ibu nanya?” Kak Hanum sudah naik pitam rupanya. Aku tahu, dia sangat menyayangi ibu dan tidak pernah membuat ibu marah selama hidupnya, berbeda denganku yang selalu membuat onar dan membuat ibu pusing selama hidupku. Tapi toh perasaanku sama, aku juga sayang ibu.
“Nanti aku bilang saja sepatu itu hilang kak, lagian uang tabunganku juga sudah cukup untuk beli sepatu baru, jadi kakak tenang aja, aku gak nyusahin ibu kok. Daripada ibu marah-marah dan kakak juga kena, iya kan?” Kataku ingin segera mengakhiri percakapan itu.
“Terserah kamu dek!” begitulah kalimatnya jika dia sudah terpojok atau pasrah dengan kata-kataku. Tapi yang penting aku tidak disambut dengan omelan ibu besok.
gelang sepatu gelang, gelang silama-lama” nyanyian itu masih saja dinyanyikannya, aku sedikit terhibur. Dia asik dengan dunia nyanyiannya sementara ayahnya tertidur tepat di sebelah kanannya.
“Kak Ayu!” kataku seraya mengulurkan tanganku tanda ingin berkenalan dengannya.
“Bunga” Jawabnya sekaligus menjabat tanganku dan menyuguhkan sebuah senyuman yang sangat manis.
“Suara kamu bagus lho!” Kataku memuji untuk sedikit membuka wacana.
“Oya? Kakak bisa saja” katanya tersipu.
“Iya, bener kok! Jangan-jangan kamu punya cita-cita jadi penyanyi ya?” Godaku.
“Tidak, aku sih ingin jadi pramugari kak, jalan-jalan ke seluruh dunia dan pakai sepatu yang bagus” Jawabnya berapi-api.
“Oya? memangnya kamu gak punya sepatu bagus?” aku berbisik ke arah kupingnya dengan sedikit tawa menggodanya. Aku tidak mungkin percaya anak ini tidak punya sepatu, penampilannya menandakan dia berasal dari kalangan yang lumayan.
“Ibu pernah membelikannya untukku, warnanya pink. Itu warna kesukaanku lho kak!”
“Lalu?” aku menunggu jawabannya, aku suka berinteraksi dengan anak-anak, mereka masih polos dan menyenangkan, walau kadang aku benci dengan tangisan mereka.
“Aku gak bisa pakai sepatu itu kak” Katanya sedikit bersedih.
“Kekecilan ya sepatunya? Ah, sudah jangan sedih gitu dong, nanti jadi jelek lho!” kataku menghibur. Seketika dia tersenyum dan wajahnya kembali ceria.
“Kata ayah, hari ini aku sudah bisa pakai sepatu” Katanya menggebu, aku tersenyum.
“Ayah mau belikan sepatu baru ya?” Kataku masih menggodanya.
“Ih… bukan kakak!” dia memprotes dan aku menanggapinya dengan canda.
“Lalu apa?” Kataku sambil menggelitiknya sampai ia tertawa-tawa di sebelahku.
“Sini deh aku bisikin” aku mendekatkan telingaku ke arahnya. “Jangan bilang siapa-siapa ya, aku gak punya kaki, tapi ayah janji hari ini kakiku sudah bisa diambil” bisiknya. Ekspresiku berubah seketika.
“Memangnya kaki kamu kenapa?” Bisikku.
“Kakak mau lihat? Tapi jangan takut apalagi tertawa ya?!” Bisiknya lagi.
“Iya” Kataku seraya mengulurkan jari kelingkingku dan senyuman yang kupaksakan.
“Kata ibu, aku diamputasi kak, gara-gara tertabrak motor” Dia mengangkat roknya dan kulihat kenyataan itu, namun ia masih tersenyum dan segera menutupinya kembali.
Gelang sepatu gelang, gelang silama-lama” nyanyiannya masih tetap merdu. Aku tertegun.
***
Gestapuwani
26 Maret 2010
Diterbitkan oleh “Kredo” minizine sastra

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gestapuwani

"Doger Ceria"